Pengertian Ukhuwah
Telah dikemukakan bahwa ukhuwah diartikan dengan
"per-saudaraan". Ukhuwah tersebut dalam bahasa Arab (ukhuwwah)
terambil dari kata akha (أخا), dari sini kemudian melahirkan beberapa kata al-akh, akhu,
yang makna dasarnya "memberi perhatian (اهتم)", dan kemudian berkembang artinya menjadi "sahabat,
teman (الصاحب، الصديق)" yang secara leksikal menunjuk pada makna "dia
bersama di setiap keadaan, saling bergabung antara selainnya pada suatu
komunitas (يستعار لكل مشارك لغيره فى القبيلة)."[1][2] Mungkin karena arti dasar tadi, yakni
"memperhatikan", menyebabkan setiap orang yang bersaudara
meng-haruskan ada perhatian di antara mereka, dan menyebabkan mereka selalu
bergabung (musyarik) dalam banyak keadaan.
Masih dalam makna leksikal, kata ukhuwah
tersebut pada dasarnya berakar dari akhun (أخ) yang jamaknnya ikhwatun (إخوة), artinya
saudara. Kalau saudara perempuan disebut ukhtun (أخت), jamaknya akhwat (أخوات). Dari kata ini kemudian
terbentuk al-akhu, bentuk mutsanna-nya akhwan, dan jamak-nya
ikhwan (إخوان) artinya banyak saudara, dan dalam Kamus Bahasa Indonesia
kata ini dinisbatkan pada arti orang yang seibu dan sebapak, atau hanya seibu
atau sebapak saja. Arti lainnya adalah orang yang bertalian sanak keluarga,
orang yang segolongan, sepaham, seagama, sederajat.[2][3] Jadi
tampak sekali bahwa kata akhun tersebut semakin meluas artinya, yakni
bukan saja saudara seayah dan seibu, tetapi juga berarti segolongan, sepaham,
seagama, dan seterusnya.
Berdasar dari arti-arti kebahasaan tadi, maka ukhuwah dalam konteks bahasa
Indonesia, memiliki arti sempit seperti saudara sekandung, dan arti yang lebih
luas yakni hubungan pertalian antara sesama manusia, dan hubungan kekeraban
yang akrab di antara mereka. Berkenaan dengan itulah, M. Quraish Shihab
menjelaskan definisi ukhuwah secara terminologis sebagai berikut :
Ukhuwah diartikan
sebagai setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan
keturunan dari segi ibu, bapak, atau keduanya, maupun dari persusuan,…juga
mencakup persamaan salah satu dari unsur seperti suku, agama, profesi, dan
perasaan.[3][4]
Selanjutnya dalam konteks masyarakat muslim,
berkembanglah istilah ukhuwwah Islamiyyah yang artinya adalah,
persaudaraan antarsesama muslim, atau persaudaraan yang dijalin oleh sesama
umat Islam. Namun M. Quraish Shihab lebih lanjut menyatakan bahwa, istilah dan
pemahaman seperti ini kurang tepat. Menurutnya, kata Islamiah yang dirangkaikan
dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa, sehingga ukhuwah
Islamiah berarti "per-saudaraan yang bersifat Islami atau persaudaraan
yang diajarkan oleh Islam"[4][5]
Pemahaman yang dikemukakan M. Quraish Shihab
tersebut kelihatannya dapat dibenarkan, dan perlu dimasyarakatkan oleh karena
dalam pandangan Alquran sendiri ditemukan banyak macam persaudaraan yang
bersifat Islami. Demikian pula dalam hadis-hadis ditemukan banyak jenis
persaudaraan, seperti persaudaraan yang dibangun oleh Nabi saw ketika membangun
negara Madinah, ada yang disebut persaudaraan kemasyarakatan, kebangsaan,
persaudaraan antara muslim dan muslim dan selainnya. Macam dan atau jenis-jenis
per-saudaraan ini akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan mendatang
setelah diurai redaksi
ayat-ayat tentang ukhuwah dalam Alquran.
B. Redaksi Ayat-Ayat tentang Ukhuwah dalam Alquran
Kata akha sebagai dasar kata ukhuwwah dan derivasinya dengan
segala bentuknya, disebutkan dalam Alquran sebanyak 87 kali.[5][6] Di antara
kata-kata tersebut yang terkait langsung dengan masalah ukhuwah dapat dilihat
redaksinya ayat-ayat yang dikutip berikut;
1. Ayat Makkiah
a. QS. Thaha (20): 29-30
وَاجْعَلْ لِي وَزِيرًا مِنْ أَهْلِي(29)هَارُونَ أَخِي(30)
Terjemahnya :
b. QS. Shad (38): 23.
إِنَّ
هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَقَالَ
أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ(23)
Terjemahnya :
Sesungguhnya
saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku
mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu
kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan".[7][8]
2. Ayat
Madaniah
a. QS. al-Hujurat (49): 10
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا
بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(10)
Terjemahnya :
Sesungguhnya
saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku
mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu
kepadaku dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan".[8][9]
b. QS. al-Nisa (4): 23
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ
وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي
أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ
وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ
الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا(23)
Terjemahnya :
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[9][10]
Dari ayat-ayat di atas, hanya QS. al-Hujurat (49): 10 yang pertama dikutip
dalam kelompok Madaniah dan QS. al-Nisa (4): 23 yang terakhir dikutip, memiliki
sabab al-nuzul.[10][11] Sekaitan
dengan ini al-Wahidi memang menyatakan bahwa tidak semua ayat memiliki sabab
al-Nuzul, oleh karena terkadang wahyu datang secara tiba-tiba tanpa sebab,
ditambah lagi dengan bermacam-macamnya cara Nabi Muhammad saw menerima wahyu.[11][12] Dengan
demikian hanya QS. al-Hujurat (49): 10 dan QS. al-Nisa (4): 23 tersebut yang diurai sabab
nuzul-nya dalam pembahasan ini.
Mengenai QS. al-Hujurat (49): 10 dalam riwayat
dikemukakan bahwa dua orang dari kaum muslimin bertengkar satu sama lain. Maka
marahlah para pengikut kedua kaum itu dan berkelahi dengan tangan dan sandal,
lalu turunlah ayat tersebut yang menegaskan bahwa orang mukmin itu bersaudara.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini, turun berkenaan dengan dua orang
Anshar yang tawar menawar dalam memperoleh haknya. Salah seorang di antara
mereka berkata: Aku akan mengambilnya dengan kekerasan karena aku banyak
mempunyai kawan, sedang yang lainnya mengajak untuk menyerahkan keputusannya
kepada Nabi saw. Orang itu menolaknya, sehingga terjadi pukul memukul dengan
sandal dan tangan, akan tetapi tidak sampai terjadi pertumpahan darah, akhirnya
turunlah ayat ini, ayat 9 dan 10 surah
al-Hujurat, memerintahkan untuk melawan orang yang menolak perdamaian, dan
mem-beritahu bahwa sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara.
Selanjutnya sabab nuzul QS. al-Nisa (4):
23 diriwayatkan bahwa Ibn Juraij bertanya kepada Atha' tentang wahala ilu
abna ikumullazina min ashlabikum pada QS. al-Nisa (4): 23. Atha' lalu
menjawab: Pernah kami memper bincangkan bahwa ayat itu turun mengenai
pernikahan Nabi kita saw kepada bekas isteri Zaid bin Haritsah (anak angkat
Nabi saw). Kaum musyrikin lalu mempergunjinkannya hingga turunlah ayat tersebut
yang menegaskan perempuan-perempuan yang boleh dinikahi yang tidak boleh
(haram) haram dinikahi.[13][14]
Ayat-ayat yang ada sabab nuzul-nya maupun yang tidak ada, memiliki munasabah
(keterkaitan) kandungan antara satu dengan lainnya yang pada intinya
membicarakann tentang ukhuwah itu sendiri. QS. Thaha (20): 29-30 adalah doa
Nabi Musa as terhadap Nabi Harun as yang tidak lain adalah keduanya satu
keluarga. Dengan demikian, ayat tersebut menunjukkan tentang persaudaraan yang
dijalin oleh ikatan keluarga. Selanjutnya QS. Shad (38): 23 membicarakan
tentang persaudaraan dalam lingkungan masyarakat. Kedua surah ini yang
tergolong sebagai ayat Makkiah, menunjukkan bahwa sebelum Hijrah ke Madinah
telah terjalin hubungan persaudaraan ikatan kekeluargaan ikatan kemasyarakatan.
Setelah Nabi saw hijrah, dijalinlah dengan
berbagai macam bentuk per-saudaraan, misalnya persaudaraan sesama muslim yang
disebutkan dalam QS. al-Hujurat (49): 10 dan QS. al-Taubah (9): 11. Persaudaraan sebangsa dan
setanah air dalam QS. al-A'raf (7): 65. Persaudaraan antara seketurunan,
sekandung, dan atau sekeluarga sebagaimana dalam QS. al-Nisa (4): 23. Yang
terakhir ini masih sejalan erat dengan kandungan QS. Thaha (20): 29-30 yang turun di Makkah.
Selainnya, yakni QS.
al-Hujurat (49): 10, QS.
al-Taubah (9): 11, dan QS. al-A'raf (7): 65 juga terkait dengan QS. QS. Shad (38): 23 sebagai ayat Makkiah. Dengan
demikian di pahami bahwa sejak Nabi saw menetap di Mekkah sampai dan di
Madinah, Alquran memandang bangunan ukhuwwah dalam berbagai bentuknya sangat
penting untuk dibangun.
Ukhuwah
atau persaudaraan dalam Islam bukan saja mencirikan kualitas ketaatan seseorang
terhadap ajaran Allah dan Rasul-Nya, tetapi juga sekaligus merupakan salah satu
kekuatan perekat sosial untuk memperkokoh kebersamaan. Fenomena kebersamaan ini
dalam banyak hal dapat memberikan inspirasi solidaritas sehingga tidak ada lagi
jurang yang dapat memisahkan silaturahmi di antara sesamanya. Meskipun
demikian, dalam perjalanan sejarahnya, bangunan kebersamaan ini seringkali
terganggu oleh godaan-godaan kepentingan yang dapat merusak keutuhan komunikasi
dan bahkan mengundang sikap dan prilaku yang saling berseberangan. Karena itu,
semangat ukhuwah ini secara sederhana dapat terlihat dari ada atau tidak adanya
sikap saling memahami untuk menumbuhkan interaksi dan komunikasi. Ukhuwah Islamiyah sendiri menunjukkan jalan
yang dapat ditempuh untuk membangun komunikasi di satu sisi, dan di sisi lain,
ia juga memberikan semangat baru untuk sekaligus melaksanakan ajaran sesuai
dengan petunjuk al-Qur'an serta teladan dari para Nabi dan Rasul-Nya.
Sekurang-sekurangnya ada dua pernyataan Nabi SAW, yang menggambarkan
persaudaraan yang Islami. Pertama, persaudaraan Islam itu mengisyaratkan
wujud tertentu yang dipersonifikasikan ke dalam sosok jasad yang utuh, yang
apabila salah satu dari anggota badan itu sakit, maka anggota lainnya pun turut
merasakan sakit. Kedua, persaudaraan Islam itu juga mengilustrasikan
wujud bangunan yang kuat, yang antara masing-masing unsur dalam bangunan
tersebut saling memberikan fungsi untuk memperkuat dan memperkokoh.
Ilustrasi pertama menunjukkan pentingnya unsur solidaritas dan kepedulian dalam upaya merakit bangunan ukhuwah menurut pandangan Islam. Sebab Islam menempatkan setiap individu dalam posisi yang sama. Masing-masing memiliki kelebihan, lengkap dengan segala kekurangannya. Sehingga untuk menciptakan wujud yang utuh, diperlukan kebersamaan untuk dapat saling melengkapi. Sedangkan ilustrasi berikutnya menunjukkan adanya faktor usaha saling tolong menolong, saling menjaga, saling membela dan saling melindungi.
Pernyataan al-Qur'an: Innama al-mu'minuuna ikhwatun (sesungguhnya orang-orang mu'min itu bersaudara) memberikan kesan bahwa orang mu'min itu memang mestinya bersaudara. Sehingga jika sewaktu-waktu ditemukan kenyataan yang tidak bersaudara, atau adanya usaha-usaha untuk merusak persaudaraan, atau bahkan mungkin adanya suasana yang membuat orang enggan bersaudara, maka ia berarti bukan lagi seorang mu'min. sebab penggunaan kata "innama" dalam bahasa Arab menunjukkan pada pengertian "hanya saja."
Tuntutan normatif seperti tertuang dalam al-Qur'an di atas memang seringkali tidak menunjukkan kenyataan yang diinginkan. Kesenjangan ini terjadi, antara lain, sebagai akibat dari semakin memudarnya penghayatan terhadap pesan-pesan Tuhan khususnya berkaitan dengan tuntutan membina persaudaraan. Bahkan, lebih celaka lagi apabila umat mulai berani memelihara penyakit ambivalensi sikap: antara pengetahuan yang memadai tentang al-Qur'an di
Ilustrasi pertama menunjukkan pentingnya unsur solidaritas dan kepedulian dalam upaya merakit bangunan ukhuwah menurut pandangan Islam. Sebab Islam menempatkan setiap individu dalam posisi yang sama. Masing-masing memiliki kelebihan, lengkap dengan segala kekurangannya. Sehingga untuk menciptakan wujud yang utuh, diperlukan kebersamaan untuk dapat saling melengkapi. Sedangkan ilustrasi berikutnya menunjukkan adanya faktor usaha saling tolong menolong, saling menjaga, saling membela dan saling melindungi.
Pernyataan al-Qur'an: Innama al-mu'minuuna ikhwatun (sesungguhnya orang-orang mu'min itu bersaudara) memberikan kesan bahwa orang mu'min itu memang mestinya bersaudara. Sehingga jika sewaktu-waktu ditemukan kenyataan yang tidak bersaudara, atau adanya usaha-usaha untuk merusak persaudaraan, atau bahkan mungkin adanya suasana yang membuat orang enggan bersaudara, maka ia berarti bukan lagi seorang mu'min. sebab penggunaan kata "innama" dalam bahasa Arab menunjukkan pada pengertian "hanya saja."
Tuntutan normatif seperti tertuang dalam al-Qur'an di atas memang seringkali tidak menunjukkan kenyataan yang diinginkan. Kesenjangan ini terjadi, antara lain, sebagai akibat dari semakin memudarnya penghayatan terhadap pesan-pesan Tuhan khususnya berkaitan dengan tuntutan membina persaudaraan. Bahkan, lebih celaka lagi apabila umat mulai berani memelihara penyakit ambivalensi sikap: antara pengetahuan yang memadai tentang al-Qur'an di
satu
sisi, dengan kecenderungan menolak pesan-pesan yang terkandung di dalamnya di
sisi lain,
hanya
karena terdesak tuntutan pragmatis, khususnya menyangkut kepentingan sosial,
politik ataupun ekonomi.
Karena
itu, bukan hal yang mustahil, jika seorang pemuka agama sekalipun, rela
meruntuhkan tatanan ukhuwah hanya karena pertimbangan kepentingan-kepentingan
primordial. Karena tarik menarik antara berbagai kepentingan itulah, sejarah
umat Islam selain diwarnai sejumlah prestasi yang cukup membanggakan, juga
diwarnai oleh sejumlah konflik yang tidak kurang memprihatinkan. Nilai-nilai
ukhuwah tidak lagi menjadi dasar dalam melakukan interaksi sosial dalam
bangunan masyarakat tempat hidupnya sehari-hari. Konflik yang bersumber pada
masalah-masalah yang tidak prinsip menurut ajaran, dapat membongkar bangunan
kebersamaan dalam seluruh tatanan kehidupannya. Perbedaan interprestasi tentang
imamah pada akhir periode kepemimpinan shahabat, misalnya, telah
berakibat pada runtuhnya kebesaran peradaban Islam yang telah lama dirintis
bersama. Lalu sejarah itu pun berlanjut, seolah ada keharusan suatu generasi
untuk mewarisi tradisi konflik yang mewarnai generasi sebelumnya. Akhirnya,
nuansa kekuasaan pada masa-masa berikutnya hampir selalu diwarnai oleh politik
"balas dendam" yang tidak pernah berujung.
Al-Qur'an memang memberikan peluang kepada
ummat manusia untuk bersilang pendapat dan berbeda pendirian. Tetapi al-Qur'an
sendiri sangat mengutuk percekcokan dan pertengkaran. Interprestasi terhadap
ayat-ayat yang mujmal (umum), pemaknaan terhadap keterikatan sesuatu
ayat dengan asbab nuzul, atau sesuatu hadits dengan asbab wurud-nya,
seringkali melahirkan adanya sejumlah perbedaan. Lebih-lebih jika perbedaan itu
telah memasuki wilayah ijtihadiyah. Dalil-dalil dzanny yang biasa
menjadi rujukan beramal memang memiliki potensi untuk melahirkan perbedaan.
Tetapi perbedaan itu sendiri seharusnya dapat melahirkan hikmah, baik dalam
bentuk kompetisi positif, mempertajam daya kritis, maupun dalam membangun
semangat mencari tahu sesuai dengan anjuran memperbanyak ilmu. Sayangnya, dalam
kenyataan, perbedaan itu justru seringkali melahirkan hancurnya nilai-nilai ukhuwah,
hanya karena ketidaksiapan untuk memahami cara berpikir yang lain, atau karena
keengganan menerima perbedaan sebagai buah egoisme yang tidak sehat. Dan, yang
lebih celaka lagi, apabila potensi konflik itu telah dipengaruhi
variabel-variabel politik dan ekonomi seperti apa yang saat ini tengah dialami
oleh bangsa kita yang semakin lelah ini. Ikatan agama telah pudar oleh
kepentingan kekuasaan. Kehangatan persaudaraan pun semakin menipis karena
desakan-desakan materialisme ataupun kepentingan primordialisme. Perbedaan
paham politik sangat potensial untuk melahirkan suasana ketidakakraban yang
cenderung membawa kepada suasana batin yang tidak menunjang tegaknya ukhuwah.
Demikian juga perbedaan tingkah kekayaan sering melahirkan kecemburuan yang
juga sangat potensial untuk mengundang suasana bathin yang tidak menunjang
tegaknya ukhuwah. Subhanallah, ukhuwah kini telah menjadi barang antik
yang sulit dinikmati secara bebas dan terbuka. Karena ukhuwah memang hanya akan
dapat terwujud apabila masyarakat sudah mampu memiliki dan menghayati
prinsip-prinsip tasamuh (toleransi), sekaligus terbuka untuk melakukan tausiyah
(saling mengingatkan).
A. Ukhuwah Wathaniyah
Manusia adalah makhluk yang memiliki
kecenderungan untuk berkoloni dan berkelompok.
Hal itu dengan jelas menegaskan bahwa kita, manusia merupakan makhluk sosial
yang selalu membutuhkan orang lain, sejak awal hingga akhir kehidupan. Dalam
menjalani kehidupan sebagai makhluk sosial, ada satu hal yang sangat esensial
dan patut dipahami sepenuhnya oleh setiap manusia, yang tidak lain adalah
ukhuwah.
Secara bahasa, ukhuwah diartikan
persaudaraan. Secara istilah, pengertian ukhuwah itu tidak bisa kita pisahkan
dari jenis-jenisnya, yakni berupa Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah, dan
Ukhuwah Insaniyah. Pada LTM
ini, yang akan saya bahas adalah Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah Insaniyah.
Ukhuwah Wathaniyah memiliki
makna persaudaraan/kerukunan dalam bangsa dan negara. Seperti namanya,
perwujudan Ukhuwah Wathaniyah berarti perwujudan kerukunan dalam masyarakat
sebangsa dan tanah air. Dari situ, kita mengetahui bahwa ini bukanlah pekerjaan
yang mudah, sebab apabila kita membicarakan skala/ukuran, jelas sekali skala
untuk bisa mewujudkan Ukhuwah Wathaniyah butuh kerjasama dari banyak pihak,
mencakup para petinggi negara hingga masyarakat biasa. Namun untuk mencapai
sesuatu yang besar, kita tidak boleh lupa bahwa kita dapat dan harus memulainya
dari sesuatu yang kecil, misalnya menjaga ukhuwah antar anggota keluarga hingga
antar organisasi masyarakat serta antar pemeluk agama. Apabila semua elemen
dari suatu negara dapat menjaga ukhuwah masing-masing serta membangun ukhuwah
yang kuat dengan elemen-elemen lainnya, niscaya perwujudan Ukhuwah Wathaniyah
bukan lagi sebuah mimpi belaka.Ukhuwah wathaniyah adalah persaudaraan berbasis pada
rasa kebangsaan dan nasionalisme. Artinya, kita sebagai makhluk hidup tidak
hanya mengedepankan bagaimana kita hidup sebagai umat islam namun juga sebagai
umat nasional. Kita hidup juga perlu memikirkan kodrat kita sebagai umat baik
yang seagama maupun yang berbeda agama, yang hidup dalam lingkungan satu
kebangsaan dan harus menjunjung tinggi kerukunan hidup antar satu bangsa
tersebut.
Kerukunan dalam ukhuwah wathaniyah yang utama dapat
dilakukan dengan cara saling toleransi dan tengang rasa. Contohnya menghargai
agama lain, karena di dalam suatu negara atau bangsa seperti negara Indonesia,
ada bermacam-macam agama tidak hanya Islam. Selain itu juga bagaimana kita
menghormati kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
Ukhuwah wathaniyah memang hubungan persaudaraan yang
berbasis rasa kebangsaan dan nasionalisme, namun untuk mewujudkannya harus
diawali dengan ukhuwah yang paling kecil, dimulai dari ukhuwah keluarga,
kemudian masyarakat, ukhuwah umat seagama dan berlainan agama, baru ukhuwah
wathaniyah yang merupakan ukhuwah nasional.
Ukhuwah wathaniyah memiliki manfaat untuk menciptakan
persatuan dan kesatuan. Persatuan dan kesatuan dalam Islam berlandaskan Al
Qur’an surat Al Hujurat ayat 13 yang berbunyi:
“ Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dari ayat tersebut telah dijelaskan bahwa Allah
menciptakan manusia berbeda-beda bangsa dan suku dengan harapan untuk saling
mengenal dan menghargai satu sama lain demi terciptanya persatuan dan
kesatuan.
Persatuan dan kesatuan antar umat sebangsa perlu
dijaga agar tidak terjadi perpecahan dalam bangsa tersebut seperti terjadi
kerusuhan, perselisihan, permusuhan, gontok-gontokan, bahkan kehancuran bangsa
itu sendiri. Oleh karena itu perlunya kita juga lebih mengedepankan kepentingan
nasional dan bangsa daripada kepentingan suku, golongan maupun kelompok kita.
Seperti sabda Rasul “Bukan golongan kita, orang yang membangga-banggakan
kesukuan dan bukan golongan kita orang yang mati karena \membela,
mempertahankan dan memperjuangkan kesukuan.”
Setidaknya kita harus menjaga dan berusaha
mempertahankan kesatuan dan persatuan negara kita yang telah diperjuangkan oleh
para pejuang-pejuang terdahulu. Jangan sampai kita hancur dan terpecah belah
hanya karena lemahnya ukhuwah wathaniyah yang kita miliki. Berikut Al Qur’an
surat Al Imran ayat 103, yang berbunyi:
“Dan
berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan ni'mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu
(masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu
menjadilah kamu karena ni'mat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu
telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya.
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat
petunjuk.
B. Ukhuwah Insaniyah
Ukhuwah Insaniyah yaitu persaudaraan
antar sesama manusia secara keseluruhan, tanpa memandang suku, agama, ras, dan
sebagainya. Dari satu sudut pandang, kita bisa melihat Ukhuwah Insaniyah itu
memiliki skala jauh lebih besar daripada Ukhuwah Wathaniyah yang hanya
melingkupi suatu negara, namun apabila kita melihatnya dari sisi lain, Ukhuwah
Insaniyah bisa saja menjadi lebih sederhana. Sebab dalam konteks Ukhuwah
Insaniyah, persaudaraan antara dua manusia saja sudah termasuk di dalamnya.
Sehingga bisa saya simpulkan bahwa sesungguhnya Ukhuwah Insaniyah ini tidak
memiliki batas pasti, yang memiliki implikasi bahwa persaudaraan dapat dan
harus kita jalin dengan setiap manusia tanpa ada batas-batas yang
menghalanginya.
Semua umat manusia sebagai makhluk
social tidak mungkin dapat hidup sendirian, karena itu satu sama lain
hakekatnya saling membutuhkan untuk berinteraksi. Hubungan yang lain, seperti
hubungan ekonomi, politik, peradaban, kebudayaan, dan lain
sebagainya.
Dalam melakukan interaksi di tengah
masyarakat, setiap diri manusia dari mana pun latar belakangnya, budaya, adat
istiadat, bangsa dan agama selalu mengharapkan agar terjalin hubungan
yang baik dan saling menguntungkan. Baik secara alamiah
maupun batin. Manusia dalam kehidupan di dunia terdiri dari berbagai ras,
bangsa, suku, adat istiadat, dan berbagai kelompok diharapkan agar saling
mengenal dan saling memahami. Dengan demikian, maka akan terwujud kedamaian
dunia dan persaudaraan sesama umat manusia.
Allah
Swt, berfirman:
Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku, supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat, 49:13).
Perbedaan dan persamaan dalam berbagai
bidang kehidupan dari manusia di seluruh dunia merupakan fitrah Allah, karena
itu tidak boleh ada paksaan untuk mengikuti agama atau peradaban tertentu.
Semua manusia diberi kebebasan oleh Allah Swt. Untuk menetapkan jalan
hidupnya berdasarkan akal fikiran yang dimilikinya.
Allah
Swt, berfirman:
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi dan seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa
manusia supaya mereka menjadi orang yang beriman semuanya?. (QS. Yunus, 10:99)
Mengenai kehidupan beragama,
ditegaskan dalam Al-Qur’an agar tidak saling memaksa antara satu pemeluk agama
dengan pemeluk agama lain. Al-Qur’an mengarahkan agar umat beragama meyakini
agamanya dengan kesadaran dan keinsyafan yang tulus, karena jelas antara
petunjuk dan kesesatan serta telah jelas pula antara hak dan batil.
Allah
Swt, berfirman:
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam).
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena
itu, barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah, 2: 256)
Dalam surat Al-Kafirun ditegaskan,
bahwa setiap pemeluk agama hendaknya konsekuen meyakini agamanya masing-masing
dan beribadah menurut meyakinnya.
Allah
Swt, berfirman:
Katakanlah: Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan
menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.
Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak
pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan
untukku agamaku” (QS
Al-Kafirun, 109:1-6)
Persaudaraan sesama umat manusia atau Ukhuwah Insaniah
telah dipraktikkan Rasulullah Saw sejak beliau hijrah ke Madinah. Sebagaimana
diketahui masyarakat Madinah di masa Nabi Saw adalah masyarakat multikultural yang
terdiri dari berbagai ras, bangsa, agama, dan peradaban. Masyarakat Madinah
yang multikultural itu dijalin dan dirajut dalam persaudaraan atau Ukhuwah
Insaniah melalui Konstitusi Madinah. Konstitusi Madinah atau piagam Nabi
Muhammad Saw merupakan konstitusi tertulis pertama di dunia, terdiri dari
sepuluh bab, berisi 47 pasal. Antara lain; mengatur persaudaraan seagama,
persaudaraan sesama umat manusia, pertahanan bersama, perlindungan terhadap
minoritas, pembentukan suatu umat atau bangsa, dan aturan-aturan lain yang
lebih lengkap.
Manusia mempunyai mempunyai motivasi dalam
menciptakan iklim persaudaraan hakiki yang dan berkembang atas dasar rasa
kemanusiaan yang bersifat universal. Seluruh manusia di dunia adalah
bersaudara. Ayat yang menjadi dasar dari ukhuwah seperti ini adalah antara lain
lanjutan dari QS. al-Hujurat (49): 10, dalam hal ini ayat 11 yang masih
memiliki munasabah dengan ayat 10 tadi.
Bahkan sebelum ayat 10 ini, Alquran memerintahkan agar setiap manusia
saling mengenal dan mempekuat hubungan persaudaraan di antara mereka.
Khusus dalam QS. al-Hujurat (49): 11, Allah
berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا
نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا
أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ
الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ(11)
Terjemahnya
:
Hai
orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain
(karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang
mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain
(karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari
wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan
janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk
panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak
bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Ayat ini sangat melarang orang beriman untuk
saling mengejak kaum lain sesama umat manusia, baik jenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Ayat berikutnya, yakni ayat 12, justru memerintahkan orang mukmin
untuk menghindari prasangsa buruk antara sesama manusia. Dalam Tafsir
al-Maragi di-jelaskan bahwa setiap manusia dilarang berburuk sangka,
dilarag saling membenci. Semua itu wajar karena sikap batiniyah yang melahirkan
sikap lahiriah. Semua petunjuk Alquran yang bericara tentang interaksi
antarmanusia pada akhirnya bertujuan memantapkan ukhuwah di antara mereka.
Memang banyak ayat yang mendukung persaudaraan
antara manusia harus dijalin dengan baik. Hal ini misalnya dapat dilihat
tentang larangan melakukan transaksi yang bersifat batil di antara manusia
sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2): 188, larangan bagi mereka mengurangi dan
melebihkan timbangan dalam usaha bisnis sebagai dalam QS. al-Mutahffifin (48):
1-3. Dari sini kemudian dipahami bahwa tata hubungan dalam ukhuwah insaniah
menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan martabat kemanusiaan untuk mencapai
kehidupan yang sejahtera, adil, damai, dan pada intinya konsep tersebut dalam
Alquran bertujuan untuk memantapkan solidaritas kemanusiaan tanpa melihat
agama, bangsa, dan suku-suku yang ada.
Islam sebagai agama yang universal ternyata juga memiliki konsep ukhuwah
kebangsaan yang disebut ukhuwah wathaniyyah, yakni saudara dalam arti
sebangsa walaupun tidak seagama. Ayat yang terkait dengan ini adalah QS. Hud
(7): 65. Di sini Allah swt berfirman, وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا (Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Aad saudara mereka,
Hud). Seperti yang dikemukakan oleh ayat lain bahwa kaum 'Ad membangkang
terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud as. Sehingga Allah memusnahkan
mereka, sebagaimana dalam QS. al-Haqqah (69): 6-7. Jenis ukhuwwah yang demikian
disebut juga dalam QS. Shad (38): 23 yang telah disebelumnya di mana di dalam
ayat ini ditegaskan bahwa adanya per-saudaraan semasyarakat, walaupun
berselisih paham karena adanya perdebatan mengenai jumlah ekor kambing yang
mereka miliki.
M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa guna
memantapkan ukhuwah kebangsaan walau tidak seagama, pertama kali Alquran
menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan ini.
Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Allah, juga demi kelestarian
hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.[15][18] Dalam QS.
al-Maidah (5): 48 Allah berfirman :
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً
وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Terjemahnya
:
Sekiranya
Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan.[16][19]
Dari ayat tersebut, maka seorang muslim hendaknya memahami adanya pandangan
atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu
tidak mungkin berada di luar kehendak Allah. Walaupun mereka berbeda agama,
tetapi karena mereka satu masyarakat, sebangsa dan setanah air maka ukhuwah di
antara mereka harus tetap ada. J. Suyuti Pulungan menyatakan bahwa indikasi
ukhuwah kebangsaan ini dapat pula dilihat dalam ketetapan Piagam Madinah yang
bertujuan mewujudkan segenap persatuan sesama warga masyarakat Madinah, yakni
persatuan dalam bentuk persaudaraan segenap penduduk Madinah sebagaimana dalam
pasal 24 pada piagam tersebut, yakni : وإن اليهود ينفقوتن مع المؤمنين ما داموا محاربين (oranng-orang mukmin dan Yahudi bekerja sama menanggung
pembiayaan selama mereka berperang).[17][20] Jadi di
antara mereka harus terjaling kerjasama dan tolong menolong dalam menghadapi
orang yang menyerang terhadap negara mereka Madinah.
Konsep ukhuwah kebangsaan yang digambarkan di atas, sungguh telah
terpraktik dalam kenegaraan di Madinah yang diplopori oleh Nabi saw. Kesuksesan
dan teladan bangunan ukhuwah Madinah tersebut akhirnya mengilhami para pemikir
muslim kontemporer untuk mempersamakan wacana civil society dari Barat
dengan wacana masyarakat madani dalam Islam. Upaya pencocokan ini sekalipun
dipaksakan, memang sedikit banyak memiliki titik temu yang cukup signifikan.
Pertautan ini nampak jelas terutama pada proses transformasi sosial budaya,
sosial politik dan sosial ekonomi pada masayarakat madinah dengan proses bangsa
Eropa (Barat) menuju masyarakat modern yang kemudian sering disebut dengan civil
society.[18][21]
Selanjutnya Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa beberapa ciri mendasar dari
ukhuwah masyarakat madani yang dibangun oleh Nabi saw, antara lain (1)
egalitarianisme; (2) penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi, bukan
kesukuan, keturunan, ras, dan sebagainya; (3) keterbukaan partisipasi seluruh
anggota masy aktif; (4) penegakan hukum dan keadilan; (5) toleransi dan
pluralisme; (6) musyawarah.[19][22] Dalam
mewujudkan masyarakat tersebut, tentu saja dibutuhkan manusia-manusia yang
secara pribadi berpendangan hidup dengan semangat ukhuwah kebangsaan, dan Nabi
saw telah memberikan keteladanan dalam mewujudkan ciri-ciri ukhuwah seperti
yang disinggung di atas. Untuk sampai ke ukhuwah tersebut dapat dirujuk QS. Ali
Imrān (3): 159, yakni ;
فَبِمَا
رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ
لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ
فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُتَوَكِّلِينَ
Terjemahnya :
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.[20][23]
Secara umum, paradigma ayat diatas memiliki
empat kunci utama dalam membangun ukhuwah kebangsaan. Pertama, bahwa
membentuk pranata sosial masyarakat itu haruslah elektif dan pleksibel, artinya
faktor kultur, demografi dan geografi suatu masyarakat sangat mempengaruhi
strategi pembentukan masyarakat. Kedua, sikap pemaaf terhadap pelaku
kejahatan sosial guna membangun masyarakat baru haruslah dijunjung tinggi,
dengan mengeyampingkan perubahan revolusioner yang justeru akan memakan korban
harta dan nyawa yang tak terhitung. Ketiga, semua perilaku dan perubahan
sosial politik dalam pembentukan masyarakat harus dilandasi upaya kompromi dan
rekonsiliasi melalui musyawarah mufakat, sehingga tercipta demokratisasi. Keempat,
para pelaku yang terlibat dalam proses pembentukan masyarakat haruslah
memiliki landasan moralitas.
Kisah di zaman Nabi SAW
1)
Kisah Rasulullah SAW dengan si pengemis Yahudi
Di
sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu
berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, "Wahai saudaraku, jangan
dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir,
apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya". Namun,
setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan,
dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang
dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa
yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.
Setelah
wafatnya Rasulullah SAW, tidak ada lagi orang yang membawakan
makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari sahabat
terdekat Rasulullah SAW yakni Abubakar RA berkunjung ke rumah anaknya Aisyah RA
yang tidak lain dan tidak bukan merupakan isteri Rasulullah SAW dan beliau
bertanya kepada anaknya itu, "Anakku, adakah kebiasaan
kekasihku (Muhammad SAW) yang belum aku kerjakan?". Aisyah RA menjawab,
"Wahai ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah dan hampir tidak ada satu
kebiasaannya pun yang belum ayah lakukan kecuali satu saja". "Apakah
Itu?", tanya Abubakar RA. "Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke
ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang
ada di sana ", kata Aisyah RA. Keesokan harinya Abubakar RA pergi ke pasar
dengan membawa makanan untuk diberikan kepada pengemis itu.
Abubakar
RA mendatangi pengemis itu lalu memberikan makanan itu kepadanya. Ketika
Abubakar RA mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil menghardik,
"Siapakah kamu?". Abubakar RA menjawab, "Aku orang yang biasa
(mendatangi engkau)." "Bukan! Engkau bukan orang yang biasa mendatangiku",
bantah si pengemis buta itu. "Apabila ia datang kepadaku tidak susah
tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa
mendatangiku itu selalu menyuapiku, tapi terlebih dahulu dihaluskannya makanan
tersebut, setelah itu ia berikan padaku", pengemis itu melanjutkan
perkataannya. Abubakar RA tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil
berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang
padamu. Aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada.
Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW". Seketika itu juga pengemis itu pun
menangis mendengar penjelasan Abubakar RA, dan kemudian berkata, "Benarkah
demikian? Selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah
memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia
begitu mulia.
Pengemis
Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat di hadapan Abubakar RA saat itu juga
dan sejak hari itu menjadi muslim. Beliau adalah ahsanul akhlaq, semulia-mulia akhlak.
2)
Di peperangan Uhud Nabi SAW terluka pada muka dan tanggal beberapa
giginya. Berkatalah salah seorang sahabatnya: “Cobalah tuan doakan agar mereka
selaka”. Nabi SAW menjawab: “Aku sekali-kali tidak diutus nuntuk melaknat
seseorang, tetapi aku diutus untuk mengajak kepada kebaikan dan rahmat”. Lalu
beliau mengangkat tangannya kepada Aallah Yang Maha Mulia dan berdoa:
“Wahai
Tuhanku ampunilah kaumku, sesungguhnya mereka orang yang tidak mengetahui”.
(Hadis).
3).
Dalam perang Uhud juga Nabi SAW memaafkan seorang budak hitam bernama Wahsyi,
karena apabila berhasil membunuh paman Nabi bernama Hamzah bin Abdul Muthalib
maka dia akan dibebaskan oleh tuannya. Peristiwa pembunuhan Hamzah oleh Wahsyi
telah berhasil, Wahsyi telah dimerdekakan. Wahsyi telah ditangkap oleh
Rasulullah SAW tetapi dia dimaafkan oleh Rasulullah SAW dan kemudian Wahsyi memeluk agama Islam
berkat akhlak Rasulullah.
4) Peristiwa lainnya adalah “Du’tsur seorang
Arab kafir Quraisy telah menguasai Rasulullah SAW ketika sedang tidur di bawah
pohon rindang. Du;tsur menghunuskan pedang ke hadapan Nabi, sambil mengancam
dan bertanya: “Siapa yang dapat membelamu sekarang ini?” Dengan tegas Nabi
menjawab: “Allah”. Du’tsur gemetar sehingga pedangnya jatuh dan kontan pedang
direbut oleh Nabi lalu menghunuskannya ke hadapan Du’tsur sambil Nabi bertanya:
“Siapakah yang dapat membelamu sekarang ini”? Du’tsur menjawab (dengan gemetar)
“tak seorangpun”. Du’tsur dimaafkan oleh Nabi dan dibebaskannya pulang, lalu
Du’tsur menceritakan kisahnya itu kepada kawan-kawanya, dan akhirnya Du’tsur
pun masuk agama Islam.
5)
Dalam peperangan Khaibar (perkampungan Yahudi), Zainab binti Al-Harits
isteri Salam bin Misykam (salah seorang
pemimpin Yahudi). Zainab berhasil membunuh Bisyr bin Baraa’ bin Ma’rur dengan
membubuhkan racun ke paha kambing yang disuguhkan olehnya. Sebenarnya yang akan
diracun adalah Bisyr dan Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah mendapat
pemberitahuan dari Allah sehingga racun di paha kambing itu tidak dimakannya.
Namun Si wanita Yahudi ini ketika telah ditangkap oleh Rasulullah SAW terus
dimaafkan.
Satu sisi ajaran Islam memerintahkan
agar seseorang menjadi pemaaf tetapi pada sisi lain orang Islam dianjurkan
harus bersikap tegas kepada orang kafir/ yang ingkar (Q.S. Al-Fath ayat 29).
Daftar
Pustaka:
Al-Maragi,
Ahmad Mustahafa. Tafsir al-Marag, juz IV. Mesir: Mustafa al-Babi
al-Halabi wa Auladuh, 1973.
Al-Suyuti, Jalal al-Din. Lubab al-Nuqul fi
Asbab al-Nuzul diterjemahkan oleh Qamaruddin Shaleh, et. al, dengan
judul Asbabun Nuzul. Cet. II; Bandung: Diponegoro, 1975.
Al-Wahidi al-Naysaburi, Abu al-Hasan bin Ali bin
Ahmad. Asbab al-Nuzul. Jakarta: Dinamika Utama, t.th.
Departemen Agama RI, Al-Aur'an dan Terjemahnya
(Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur'an, 1992.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
Ibn
Katsir, Muhammad bin Ismail. Tafsir al-Qur'an al-Azhim, juz IV.
Semarang: Toha Putra, t.th.
Madjid,
Nurcholis. Menuju Masyarakat Madani dalam Adi Suryani Culla, (ed), Masyarakat
Madani; Pemikiran, teori dan Relevansinya dengan Era Reformasi. Cet.III;
Jakarta: PT. RajaGRafindo Persada, 2002.
Ma'luf, Luwis. Al-Munjid fi al-Lughah. Bairut:
Dar al-Masyriq, 1977.
Pulungan, J. Suyuthi. Prinsip-Prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah; Dintinjau dari Pandangan Al-Qur'an. Cet.
II; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Kesan,
Pesan, dan Keserasian Al-Qur'an, vol.13. Cet. IV; Jakarta: Lentera Hati,
2006.
. Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'iy atas
Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XV; Bandung: Mizan, 2004.Muhammad Fu'ad 'Abd.
al-Baqy, Mu'jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur'an al-Karim. Bairut:
Dar al-Fikr, 1992.
http://harismubarak.blogspot.com/2012/07/ukhuwah-dalam-pandangan-al-quran.html (10 Mei 2014 20:58 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar