Bab 1
Akhlak Islam
A.
Sistem
Akhlak Islam
Salah
satu ciri khusus sistem akhlak Islam ialah syumul dan lengkap. Syumul di sini
bermaksud akhlak Islam itu luas bidangnya dan meliputi semua aspek perbuatan
manusia, baik yang mengenai diri individu mahupun mengenai orang lain, baik
mengenai hubungan individu, masyarakat mahupun negara. Tidak ada suatu pun
perbuatan manusia yang terkeluar dari peraturan akhlak Islam. Setiap muslim
diwajibkan memelihara akhlak Islam.
B.
Pengertian
dan Hakikat Akhlak Islam
Menurut pendekatan etimologi, perkataan "akhlak" berasal dari
bahasa Arab jama' dari bentuk mufradnya "Khuluqun" yang
menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat
tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan "khalkun"
yang berarti kejadian, serta erat hubungan "Khaliq". Sedangkan
menurut pendekatan secara terminologi, berikut ini beberapa pakar mengemukakan
pengertian akhlak sebagai berikut:
1. Ibn
Miskawaih
Bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu.
2.
Imam Al-Ghazali
Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai
perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan
pertimbanagan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan
terpuji, baik dari segi akal dan syara', maka ia disebut akhlak yang baik. Dan
jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang
buruk.
Dengan demikian, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut
di atas tidak ada yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu
sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang
dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi
kebiasaan.
Jika dikaitkan dengan kata Islami, maka akan berbentuk akhlak Islami,
secara sederhana akhlak Islami diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran
Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata
akhlak dalam menempati posisi sifat. Dengan demikian, akhlak Islami adalah
perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sebernya
berdasarkan pada ajaran Islam.
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjabarkan
akhlak universal diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan
sosial yang terkandung dalam ajaran etika dan moral. Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat mutlak dan
universal. Sedangkan bagaimana bentuk dan cara menghormati oarng tua itu dapat
dimanifestasikan oleh hasil pemikiran manusia. Jadi, akhlak Islam bersifat
mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati
penyakit jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak adalah untuk mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
C. Ruang Lingkup Akhlak Islam
1.
Akhlak terhadap Allah
a. Mengabdi hanya kepada Allah
Bertaqwa dan mengabdi hanya kepada Allah, tidak akan mempersekutukan-Nya
dengan apa pun dalam bentuk apa pun, serta dalam keadaan situasi dan kondisi
yang bagaimanapun.
Artinya: “Dan Aku (Allah) tidak ciptakan jin dan manusia, melainkan
supaya mereka menyembah kepada-Ku”.(QS. Adz-Dzariyat: 56).
b. Tunduk dan patuh kepada Allah
Artinya: “Taatlah kepada (perintah) Allah dan (perintah) Rasul-Nya
supaya kalian mendapat rahmat”.(QS. Ali ‘Imran: 132(
c. Tawakkal
Artinya: “Yang apabila terjadi terhadap mereka satu kesusahan, mereka
berkata; sesungguhnya kami ini milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami
akan kembali”. (QS. Al-Baqarah: 15)
d. Bersyukur kepada Allah
Artinya: “Dan (ingatlah), tatkala Tuhan kamu memberitahu; jika kamu
berterima kasih, niscaya Aku tambah nikmat bagi kamu, apabila kamu tidak
bersyukur, maka adzab-Ku itu sangat pedih”.(QS. Ibrahim: 6-7)
e. Penuh harap kepada Allah
Artinya: “Sesungguhnya ummat yang beriman dan berhijrah serta bekerja
keras (berhijrah) di jalan Allah, mereka itu (ummat yang) berharap rahmad
Allah; dan Allah itu Pengampun, Penyayang”.(Al-Baqarah: 218)
f. Ikhlas menerima keputusan Allah
Artinya: “Dan alangkah baik jika mereka ridha dengan apa yang Allah dan
Rasul-Nya berikan kepada mereka, sambil mereka berkata: cukuplah Allah bagi
kami, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya akan member kepada kamu karunia-Nya,
sesungguhnya kami mencintai Allah”.(QS. At-Taubah: 59)[1][5]
g. Tadlarru’ dan khusyu’
Artinya: “Beruntunglah orang-orang yang beriman. Mereka yang khhusyu’
dalam shalatnya”. (QS. Al-Mukminun: 1-2)
“Bermohonlah kepada Tuhan kalian dengan rendah hati dan dengan rahasia
(suara hati). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melanggar
batas”.(QS. Az-Zumar: 53)
h. Husnud-dhan
Artinya: “Janganlah mati salah seorang dari kalian, melainkan dalam
keadaan baik sangka kepada Allah”.(H.R. Muslim)
i. Taubat dan istighfar
Artinya: “Hai orang-orang beriman! Hendaklah kalian benar-benar taubat
kepada Allah, agar segala dosa kalian diampuni dan kalian dimasukkan ke dalam
surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai”.(QS. At-Tahrim: 8)[2][6]
2. Akhlak terhadap Makhluk
a. Akhlak kepada Manusia
1) Rasulullah meliputi mencintai Rasulullah secara
tulus dengan mengikuti semua sunnahnya, menjadikan Rasulullah sebagai idola
dalam hidup dan kehidupan, menjalankan apa yang diperintah dan menjauhi
larangannya.
2) Akhlak terhadap orang tua meliputi
mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya, merendahkan diri kepada
keduanya diiringi rasa kasih sayang, berkomunikasi dengan orang tua dengan
khidmat, pergunakan kata-kata lemah lembut, berbuat baik kepada keduanya
sebaik-baiknya dan mendoakan keselamatan dan keampunan bagi mereka kendatipun
seorang atau kedua-duanya telah meninggal dunia.
3) Akhlak terhadap diri sendiri meliputi :
Memelihara kesucian diri, baik jasmaniah maupun rohaniah, Memelihara kerapihan
diri, Berlaku tenang, Menambah ilmu pengetahuan, Membina disiplin pribadi, Pemaaf
dan memohon maaf, Sikap sederhana dan jujur dan Menghindari perbuatan tercela.
4) Akhlak terhadap keluarga dan karib
kerabat, antara lain : saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam
kehidupan keluarga, saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, berbakti
kepada ibu bapak, mendidik anak-anak dengan kasih sayang dan memelihara
hubungan silaturrahim.
5) Akhlak terhadap tetangga, antara lain :
saling mengunjungi, saling bantu diwaktu senang lebih-lebih tatkala susah,
saling beri member, saling hormat menghormati, saling menghindari pertengkaran
dan permusuhan.
6) Akhlak terhadap masyarakat, meliputi
memuliakan tamu, menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan, saling menolong dalam melakukan kebajikan dan taqwa, menganjurkan
anggota masyarakat termasuik dirin sendiri berbuat baik dan mencegah diri
sendiri dan mencegah orang lain melakukan perbuiatan jahat dan munkar dan
bermusyawarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama.
b. Akhlak kepada bukan manusia atau
lingkungan hidup antara lain : sadar dan memelihara kelestarian lingkungan
hidup, menjaga dan memanfaatkan alam terutama hewani dan nabati, fauna dan
flora yang sengaja diciptakan tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya,
sayang pada sesama makhluk.
D. Nilai Akhlak Islam dalam Kehidupan
Seperti yang telah diketahui bahwa timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian
manusia terhadap Allah SWT adalah ukuran yang menentukan corak hidup manusia.
Akhlak atau moral adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak
kebaikan. Tiap-tiap perbuatan adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran
akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran
kesusilaan adalah menentang kesadaran itu. Kesadaran akhlak adalah
kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau
merasakan diri sendiri berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah hal yang
membedakan khalal dan kharam, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan.
Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut dan tidak patut,
karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang
sebagai subjek bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan
sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami
perbuatannya dia bisa dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan itu.
Dari definisi akhlak telah disebutkan sebelumnya tentunya akhlak mempunyai nilai akhlak tersendiri dan nilai akhlak ini
adalah nilai yang membahas mengenai mana yang baik dan mana yang tidak baik dan
bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik. Jadi nilai akhlak dapat dibagi
menjadi bermacam – macam nilai antara lain nilai Spiritual, nilai Absolut.
Nilai Spiritual adalah nilai yang memiliki hubungan dengan sesuatu
yang dianggap mempunyai kekuatan sakral suci dan agung. Itu termasuk dalam
nilai kerohanian, yang terletak dalam hati. Bila dilihat tinggi rendahnya
nilai-nilai yang ada, nilai spiritual merupakan nilai tertinggi dan bersifat
mutlak karena bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan sosial budaya
keterkaitan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau
kehidupan beragama. Setiap orang akan selalu memilki pandangan atau persepsi
akan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan yang melebihi manusia, dalam
pandangan orang beragama disebut sebagai yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang
Widi, Tuhan, God, Yang Maha Pencipta, dan sebagainya.
Manusia sangat tergantung dan hormat pada kekuatan yang ada di luar
dirinya, bahkan memujanya untuk melindungi dirinya bila perlu rela
mengorbankan semuanya yaitu harta dan jiwa sebagai bukti kepatuhan dan
yang mempunyai ketundukan terhadap kekuatan tersebut. Yang Kedua adalah nilai
Absolut. Nilai Absolut adalah adalah kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang akan mengantarkan kepada kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat
secara individual dan sosial. Didalam nilai absolut tersebut terdapat bermacam
– macam nilai yang akan menuntun manusia kejalan yang benar dan tentunya akan
sukses di dunia dan di akhirat. Antara lain adalah adanya nilai sosial dan
nilai kemanusiaan yang bersumber dari manusia sendiri.
Setelah membaca penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dapat
dikatakan bahwa akhlak sangat menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan
yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Akhlak yang ada di
kehidupan ini adalah akhlak yang bersumber dari petunjuk Al-Qur’an dan Hadist
yang kesemuanya tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat
yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan
lahiriah.
Bab
2
Sistem
Implementasi Akhlak Islam
A. Penerapan Nilai-nilai Karakter Keagamaan
1. Nilai Kedisiplinan
Disiplin adalah kepatuhan
untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk
tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain,
disiplin adalah sikap menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan
tanpa pamrih.
Dalam ajaran Islam, banyak ayat
al-Qur`an dan hadist, yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada
peraturan yang telah ditetapkan. Antara lain disebutkan dalam surah an-Nisâ`
ayat 59, “Wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.” (Qs. an-Nisâ` [4]: 59)
Dari ayat di atas terungkap pesan
untuk patuh dan taat kepada para pemimpin, dan jika terjadi perselisihan di
antara mereka, maka urusannya harus dikembalikan kepada aturan Allah SWT dan
Rasul-Nya.
Namun, tingkat kepatuhan manusia
kepada pemimpinnya tidak bersifat mutlak. Jika perintah yang diberikan pemimpin
bertentangan dengan aturan atau perintah Allah dan Rasul-Nya, maka perintah
tersebut harus tegas ditolak dan diselesaikan dengan musyawarah. Namun jika
aturan dan perintah pemimpin tidak bertentangan dengan Syariat Allah dan
Rasul-Nya, maka Allah menyatakan ketidak-sukaannya terhadap orang-orang yang
melewati batas.
Di samping mengandung arti taat dan
patuh pada peraturan, disiplin juga mengandung arti kepatuhan kepada perintah
pemimpin, perhatian dan kontrol yang kuat terhadap penggunaan waktu,
tanggungjawab atas tugas yang diamanahkan, serta kesungguhan terhadap bidang
keahlian yang ditekuni.
Seperti perintah untuk memperhatikan
dan menggunakan waktu sebaik-baiknya. Dalam al-Qur`an misalnya disebutkan: Wal-fajri (demi waktu
Subuh), wadh-dhuhâ
(demi waktu pagi), wan-nahar
(demi waktu siang), wal-‘ashr
(demi waktu sore), atau wal-lail
(demi waktu malam).
Maka, kita harus pandai-pandai
menggunakan waktu sebaik-baiknya. Tapi, jangan pula kita gunakan waktu untuk
kepentingan akhirat namun mengorbankan kepentingan duniawi, atau sebaliknya.
Menggunakan waktu dalam usaha mencari karunia dan ridha Allah, hendaknya
seimbang dan proporsional.
Ada juga perintah untuk menekuni
bidang tertentu hingga menghasilkan karya atau keahlian tertentu sesuai potensi
yang dimiliki. Masing-masing orang dengan keahliannya, diharap dapat saling
bekerjasama dan bahu-membahu menghasilkan buah karya yang bermanfaat bagi
banyak orang. “Tiap-tiap
orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui
siapa yang lebih benar jalannya.” (Qs. al-Isrâ` [17]: 84)
Pesan-pesan moral yang terkandung
dalam ajaran Islam, memberi interpretasi yang lebih luas dan jelas kepada
umatnya untuk berlaku dan bertindak disiplin. Bahkan dari beberapa rangkaian
ibadah, seperti shalat, puasa, zakat maupun haji, terkandung perintah untuk
berlaku disiplin.
Dengan demikian, nilai-nilai moral
ajaran Islam diharapkan mampu menjadi energi pendorong pelaksanaan kedisplinan.
Dalam skala lebih luas, untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
2. Nilai Kejujuran
Jujur dapat
diartikan bisa menjaga amanah. Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang
mulia, orang yang memiliki sifat jujur biasanya dapat mendapat kepercayaan dari
orang lain. Sifat jujur merupakan salah satu rahasia diri seseorang untuk
menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur senantiasa berusaha untuk
menjaga amanah. Amanah adalah ibarat barang titipan yang harus dijaga dan
dirawat dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Berhasil atau tidaknya
suatu amanat sangat tergantung pada kejujuran orang yang memegang amanat
tersebut. Jika orang yang memegang amanah adalah orang yang jujur maka amanah
tersebut tidak akan terabaikan dan dapat terjaga atau terlaksana dengan baik.
Begitu juga sebaliknya, jika amanah tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak
jujur maka ‘keselamatan’ amanah tersebut pasti ‘tidak akan tertolong’.
Dengan
demikian, jujur dapat pula diartikan kehati-hatian diri seseorang dalam
memegang amanah yang telah dipercayakan oleh orang lain kepada dirinya. Karena
salah satu sifat terpenting yang harus dimiliki bagi orang yang akan diberi
amanah adalah orang-orang yang memiliki kejujuran. Karena kejujuran merupakan
sifat luhur yang harus dimiliki manusia. Orang yang memiliki kepribadian yang
jujur, masuk dalam kategori orang yang pantas diberi amanah karena orang
semacam ini memegang teguh terhadap setiap apa yang ia yakini dan menjalankan
segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.
Karena orang
yang jujur umumnya akan bertanggung jawab penuh akan segala yang diberikan atau
dibebankan kepadanya maka pasti ia akan berusaha sekuat tenaga untuk
menjalankan kewajibannya tersebut dengan sungguh-sungguh. Selain itu orang yang
dalam lubuk hatinya mengalir darah kejujuran maka ia tidak akan sanggup
menyakiti atau melukai perasaan orang lain. Dan karena itulah orang semacam ini
pantas diberi amanah, dengan kejujurannya ia tidak akan sanggup mengecewakan
orang yang telah memberinya amanah tentukan bukan amanah yang menyesatkan.
Kejujuran
adalah perhiasan orang berbudi mulia dan orang yang berilmu. Oleh sebab itu,
sifat jujur sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap umat Rasulullah saw. Hal
ini sesuai dengan firman Allah:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya.” (Q.S. an-Nisa: 58).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan
Rasul-Nya dan janganlah kamu menghianati amanah-amanah yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. al-Anfal: 27).
Dari dua ayat
tersebut didapat pemahaman bahwa manusia, selain dapat berlaku tidak jujur
terhadap dirinya dan orang lain, adakalanya berlaku tidak jujur juga kepada
Allah dan Rasul-Nya. Maksud dari ketidakjujuran kepada Allah dan Rasul-Nya
adalah tidak memenuhi perintah mereka. Dengan demikian, sudah jelas bahwa
kejujuran dalam memelihara amanah merupakan salah satu perintah Allah dan
dipandang sebagai salah satu kebajikan bagi orang yang beriman.
Orang yang
mempunyai sifat jujur akan dikagumi dan dihormati banyak orang. Karena orang
yang jujur selalu dipercaya orang untuk mengerjakan suatu yang penting. Hal ini
disebabkan orang yang memberi kepercayaan tersebut akan merasa aman dan tenang.
Jujur adalah
sikap yang tidak mudah untuk dilakukan jika hati tidak benar-benar bersih.
Namun sayangnya sifat yang luhur ini belakangan sangat jarang kita temui,
kejujuran sekarang ini menjadi barang langka. Saat ini kita membutuhkan teladan
yang jujur, teladan yang bisa diberi amanah umat dan menjalankan amanah yang
diberikan dengan jujur dan sebaik-baiknya. Dan teladan yang paling baik, yang
patut dicontoh kejujurannya adalah manusia paling utama yaitu Rasulullah saw.
Kejujuran adalah perhiasan Rasulullah saw. dan orang-orang yang berilmu.
3. Kerjasama
Untuk menjadi bangsa yang luhur, kita harus menanamkan nilai-nilai luhur
dari bangsa kita sendiri. Kekayaan budaya, suku, bahasa, ras dan agama
menjadikan Bhineka Tunggal Ika (biarpun
berbeda tetapi tetap satu Indonesiaku) harus selalu dijunjung diatas segalanya.
Kerukunan sejatinya
adalah modal dasar manusia sebagai makhluk sosial yang selalu ingin
berkelompok. Sebab, kerukunan merupakan media untuk mengumpulkan energi
positif. Energi positif inilah yang sangat diperlakukan untuk membangun
kehidupan sosial kea rah yang lebih baik, dalam bentuk pembangunan. Selain
kerukunan, hal lain yang tak boleh diabaikan adalah masalah kekompakan. Sebab,
rukun, tak selalu kompak. “Manusia bisa saja rukun, meski berbeda pendapat,
namun kekompakan membutuhkan kesamaan pendapat, visi, sampai bagaimana memulai
dan mengakhiri pekerjaan,”
Ada enam thobi’at luhur sebagai bagian dari akhlakul karimah yang harus
dimiliki orang yang beriman untuk dijadikan sikap hidup (karakter) yang harus
dikedepankan ketika melakukan kehidupan bersama, maupun sebagai watak pribadi
yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Dari enam thobi’at luhur itu tiga
diantaranya merupakan thobi’at atau perilaku yang harus diwujudkan dalam
kehidupan bersama yaitu rukun, kompak dan kerja sama yang baik. Sedangkan tiga
yang lainnya merupakan watak atau thobi’at yang harus dimiliki dan diamalkan
oleh tiap-tiap pribadi orang beriman yaitu jujur, amanah dan mujhid muzhid.
a. Rukun
Sewaktu Nabi Adam AS diturunkan ke dunia, Allah telah menyebutkan bahwa
anak cucu Adam nanti akan bermusuhan satu sama lain. Adalah Allah yang
memberikan nikmat terhadap sebagian anak cucu Adam untuk dirukunkan hatinya,
dihidupkan dalam kehidupan bersama dalam nuansa persaudaraan seiring dengan
keimanan atau hidayah. Allah berfirman :
وَاذْكُرُوْا
نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ
فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَنًا …الأية * سورة ال عمران اية ١٠٣
Dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian, ketika kalian bermusuhan, kemudian
Allah menyatukan hati kalian sehingga kalian menjadi bersaudara sebab
nikmat-Nya… (QS. Ali Imron : 103).
Kerukunan yang diberikan Allah kepada orang beriman adalah kerukunan lahir
dan batin. Sedangkan orang-orang yang
tidak beriman apabila terjadi kerukunan hanya lahirnya saja, yaitu karena
sama-sama mempunyai kepentingan yang menurut kalkulasi mereka perlu
kebersamaan untuk mewujudkannya. Sedang dalam hati mereka saling curiga, saling
dengki, ingin lebih untung daripada yang lain, dsb.Rukun adalah
suatu sifat atau thobi’at orang beriman
yang tidak mempunyai uneg-uneg, prasangka buruk, dengki, iri hati kepada
sesamanya. Saling mengasihi serta bantu-membantu dalam kebaikan, tolong
menolong, kuat memperkuat, saling mendoakan yang baik dan bersikap ramah
terhadap sesama. Firman Allah dalam Al Qur’an :
وَأَطِيْعُوا اللهَ
وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ
وَاصْبِرُوْآ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ * سورة الأنفال ٤٦
Dan thoatlah kalian kepada Allah dan Rosul-Nya dan janganlah kalian
berselisih (tidak rukun) maka kalian menjadi gentar (takut) dan hilanglah
kekuatan kalian, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar. (QS. Al Anfaal : 46)
b. Kompak
Kompak adalah bersama-sama melakukan kegiatan
ibadah dengan giat, senang, seia sekata. Lazimnya kompak akan berhasil diwujudkan bila didukung dengan rukun
terlebih dahulu. Dalam suasana tidak rukun sulit kiranya dilakukan kegiatan
bersama. Namun demikian keadaan tidak kompak juga bisa terjadi karena terdapat
persepsi yang berbeda mengenai kegiatan tersebut. Untuk mengatasi hal ini perlu
penjelasan yang sejelas-jelasnya dan lebih terperinci terutama yang menyangkut
operasionalnya guna meniadakan hal-hal yang dapat menimbulkan multi tafsir.
Allah berfirman :
إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ فِى سَبِيْلِهِ صَفاًّ كَأَنَّهُمْ بُنْياَنٌ
مَّرْصُوْصٌ * سورة الصف
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dengan
berbaris bagaikan bangunan yang tersusun kokoh (QS. As Shof : 4)
Sehubungan dengan kemampuan sesorang tidak sama, maka diperlukan praktek
kekompakan guna membangun solidaritas atau kesetiakawanan terhadap sesama.
Seperti kalau ada yang sakit sama-sama
dibesuk, kalau ada yang meninggal sama-sama dilayat. Semua itu merupakan
kegiatan yang menunjukkan kekompakan.
c. Kerja Sama yang Baik
Kerja sama yang baik adalah sikap
orang beriman yang saling peduli, saling mendukung, saling melancarkan, tidak
jegal-menjegal, tidak jatuh-menjatuhkan, tidak rugi-merugikan dan tidak saling
memfitnah. Kerja sama yang baik juga mengandung arti kerja sama dalam
hal kebaikan yang sama-sama dikerjakan dengan baik untuk mendapatkan kebaikan
bersama. Firman Allah SWT :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ
تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ … الأية * سورة المائدة
Dan tolong menolonglah kalian atas kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah
tolong menolong atas dosa dan permusuhan… (QS. Al Maidah : 2)
Demikian pula kerja sama yang baik bukan sekedar yang penting sama-sama
bekerja, akan tetapi ada pembagian tugas sesuai dengan bidang keahlian
masing-masing. Tidak memberi tugas kepada yang bukan ahlinya, sehingga
diharapkan mendapat hasil yang optimal.
d. Jujur
Jujur adalah sikap orang iman yang
apabila berkata benar, tidak dusta, tidak menipu. Jujur atau shiddiq adalah
salah satu sifat kenabian di samping amanah, tabligh dan fathonah.
Berbahagialah orang yang dikaruniai watak jujur karena hidupnya akan tenteram
dan damai karena sikapnya yang polos, tidak dibuat-buat, tidak ada kepalsuan,
tidak ada dusta, tidak menipu sehingga tidak ada beban karena khawatir
terbongkarnya sesuatu yang disembunyikan dalam dirinya. Sesungguhnya ketika
seseorang tidak jujur, sebenarnya dia telah menciptakan perang dalam hati
nuraninya sendiri.
e. Amanah
Amanah adalah sikap pribadi orang beriman yang artinya bisa dipercaya dan menjaga kepercayaan, tidak khianat dan menyampaikan hak kepada
yang berhak menerimanya. Amanah juga merupakan sifat kenabian, bahkan
Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi nabi telah mendapat gelar Al-Amin (orang yang
dapat dipercaya). Firman Allah SWT :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ
أَنْ تُؤَدُّو اْلأَمَاناتِ إِلىَ أَهْلِهَا … الأية * سورة النساء ٨٥
Sesungguhnya Allah memerintah kepada kalian untuk menyampaikan
amanat-amanat kepada ahlinya (yang berhak menerima). (QS. An Nisaa’ : 58)
يَآ أَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَتَخُوْنُوا
اللهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ * سورة
الأنفال
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rosul
dan janganlah mengkhianati amanat-amanat (yang dipercayakan) kalian, sedang
kalian mengetahui. (QS. Al Anfaal : 27)
f. Mujhid Muzhid
Seseorang dapat dikatakan hidupnya mujhid apabila dalam kehidupan
sehari-hari kerjanya giat, semangat dan cukup sesuai dengan jenis kerja
tersebut. Seseorang dikatakan muzhid
apabila kehidupan sehari-harinya mengatur penghasilan dengan hidup hemat, tidak
boros dan dapat mengukur kemampuannya. Ada dua cara yang lazim bagi
seseorang agar terpenuhi kebutuhannya yaitu menambah penghasilan atau
mengurangi pengeluaran. Bila kedua cara itu ditempuh sekaligus bersama-sama
maka artinya ia sedang praktek mujhid muzhid. Sabda Rosulullah SAW :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُزْهِدُ الْمُجْهِدُ * رواه أحمد
Sungguh beruntung orang yang tirakat (hidup hemat) dan mempersungguh
(bekerja giat) (HR. Ahmad)
4. Toleransi
Dalam hadis
Rasulullah saw. ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis yang memberikan
perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti
Islam. Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran
toleransi dalam Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan
manifestasi dari apa yang disampaikan dalam Alquran.
Di dalam salah
satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ
إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ
اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ
السَّمْحَةُ
[Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan
kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan
kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu
'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang
paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah
As-Samhah (yang lurus lagi toleran)]"
Berdasarkan
hadis di atas dapat dikatakan bahwa Islam adalah agama yang toleran dalam
berbagai aspeknya, baik dari aspek akidah maupun syariah, akan tetapi toleransi
dalam Islam lebih dititikberatkan pada wilayah mua’malah. Rasulullah saw.
bersabda :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ
حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ
رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
[Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah
menceritakan kepada kami Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah
menceritakan kepada saya Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah ra.
bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah merahmati orang yang memudahkan
ketika menjual dan ketika membeli, dan ketika memutuskan perkara"].
Imam al-Bukhari memberikan makna
pada kata ‘as-samâhah’ dalam hadis ini dengan kata kemudahan, yaitu pada
“Bab Kemudahan dan Toleransi dalam Jual-Beli”. Sementara Ibn Hajar
al-‘Asqalâni ketika mengomentari hadis ini beliau berkata: "Hadis ini
menunjukkan anjuran untuk toleransi dalam interaksi sosial dan menggunakan
akhlak mulia dan budi yang luhur dengan meninggalkan kekikiran terhadap diri
sendiri, selain itu juga menganjurkan untuk tidak mempersulit manusia dalam
mengambil hak-hak mereka serta menerima maaf dari mereka.
Islam sejak diturunkan
berlandaskan pada asas kemudahan, sebagai-mana Rasulullah saw. bersabda :
حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلاَمِ بْنُ
مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ
الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ
يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا
وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ
مِنْ الدُّلْجَةِ.
[Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin
Muthahhar berkata, telah menceritakan kepada kami Umar bin Ali dari Ma'an bin
Muhammad Al Ghifari dari Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah,
dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin
berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, men-dekatlah (kepada yang
benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolong-lah dengan al-ghadwah
(berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan
sesuatu dari ad-duljah (berangkat di waktu malam)"].
Ibn Hajar al-‘Asqalâni berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan
bersikap tasyaddud (keras) dalam agama yaitu ketika seseorang
memaksa-kan diri dalam melakukan ibadah sementara ia tidak mampu
melaksana-kannya itulah maksud dari kata : "Dan sama sekali tidak
seseorang berlaku keras dalam agama kecuali akan terkalahkan" artinya
bahwa agama tidak dilaksanakan dalam bentuk pemaksaan maka barang siapa yang
memaksakan atau berlaku keras dalam agama, maka agama akan mengalahkannya dan
menghentikan tindakannya.
Dalam riwayat lain disebutkan
bahwa suatu ketika Rasulullah saw. datang kepada ‘Aisyah ra., pada waktu itu
terdapat seorang wanita bersama ‘Aisyah ra., wanita tersebut memberitahukan
kepada Rasulullah saw. perihal salatnya, kemudian Rasulullah saw. bersabda :
مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ
فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ
إِلَيْهِ مَادَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
["Hentikan, Kerjakan apa
yang sanggup kalian kerjakan, dan demi Allah sesungguhnya Allah tidak bosan
hingga kalian bosan, dan Agama yang paling dicintai disisi-Nya adalah yang
dilaksanakan oleh pemeluknya secara konsisten"].
Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak memuji amalan-amalan yang
dilaksanakan oleh wanita tersebut, dimana wanita itu menberitahukan kepada
Rasulullah saw. tentang salat malamnya yang membuatnya tidak tidur pada malam
hari hanya bertujuan untuk mengerja-kannya, hal ini ditunjukkan ketika
Rasulullah saw. memerintahkan kepada ‘Aisyah ra. untuk menghentikan cerita sang
wanita, sebab amalan yang dilaksanakannya itu tidak pantas untuk dipuji secara
syariat karena di dalamnya mengandung unsur memaksakan diri dalam menjalankan
ajaran-ajaran Islam, sementara Islam melarang akan hal tersebut sebagaimana
yang ditunjukkan pada hadis sebelumnya.
Keterangan ini menunjukkan bahwa
di dalam agama sekalipun terkandung nilai-nilai toleransi, kemudahan,
keramahan, dan kerahmatan yang sejalan dengan keuniversalannya sehingga menjadi
agama yang relevan pada setiap tempat dan zaman bagi setiap kelompok masyarakat
dan umat manusia.
Terdapat banyak ayat-ayat Alquran
yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan kemudahan di
antaranya adalah firman Allah swt:
---هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ---
[Dia telah memilih kamu. Dan dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan].[
Pada ayat lain Allah berfirman :
---يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ---
[Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu].
Kata "al-Mutanatti'un" adalah orang-orang yang berlebihan
dan me-lampaui batas dalam menjelaskan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.
Al-Qâdi ‘Iyad mengatakan bahwa, maksud dari kehancuran mereka adalah di
akhirat. Hadis ini merupakan peringatan untuk menghindari sifat keras dan
berlebihan dalam melaksanakan ajaran agama.
Toleransi dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang
sinkretis dalam toleransi beragama merupakan dan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh
yang berarti menghargai, yang dapat mengakibat-kan pencampuran antar yang
hak dan yang batil (talbisu al-haq bi al-bâtil), karena sikap sinkretis
adalah sikap yang menganggap semua agama sama. Sementara sikap toleransi dalam
Islam adalah sikap menghargai dan menghormati keyakinan dan agama lain di luar
Islam, bukan menyamakan atau mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu
sendiri.
Pada ayat ini terdapat perintah untuk mengajak para ahli kitab dari
kalangan Yahudi dan Nasrani untuk menyembah kepada Tuhan yang tunggal dan tidak
mempertuhankan manusia tanpa paksaan dan kekerasan sebab dalam dakwah Islam
tidak mengenal paksaan untuk beriman sebagaimana Allah swt. berfirman:
لآإِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ
[Tidak ada paksaan dalam beragama]
Dalam beberapa riwayat diketahui Rasulullah saw. Juga mendoakan agar Allah
swt. memberikan kepada mereka (kaum musyrik) hidayah untuk beriman kepada-Nya
dan kepada risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Diantara riwayat-riwayat
tersebut adalah kisah qabilah Daus yang menolak dakwah Islam yang disampaikan
oleh Tufail bin Amr ad-Dausi, kemudian sampai hal ini kepada Rasulullah
saw., lalu beliau berdo'a :
"اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَأْتِ بِهِمْ"
Berdasarkan riwayat
di atas, maka benarlah bahwa Rasulullah saw. diutus menjadi rahmat bagi seluruh
alam. Beliau tidak tergesa-gesa mendoakan mereka (orang kafir) dalam
kehancuran, selama masih terdapat kemungkinan diantara mereka untuk menerima
dakwah Islam, sebab beliau masih mengharapkannya masuk Islam. Adapun kepada
mereka yang telah sampai dakwah selama beberapa tahun lamanya, tetapi
tidak terdapat tanda-tanda kenginan untuk menerima dakwah Islam dan
dikhawatirkan bahaya yang besar akan datang dari mereka seperti pembesar kaum
musyrik Quraisy (Abu Jahal dan Abu Lahab dkk), barulah Rasulullah mendoakan
kehancuran atas nama mereka.
Sikap Rasululullah saw yang mendoakan dan
mengharapkan orang-orang musyrik supaya menjadi bagian umat Islam, menguatkan
bahwa Rasulullah saw. diutus membawa misi toleransi, sebagaimana sabda
beliau;
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ
بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
[Maka Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya aku
tidak diutus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, akan tetapi aku diutus untuk
orang-orang yang lurus terpuji.”]
Ulasan terhadap hadis-hadis yang telah dikemukakan
terdahulu, menunjukkan bahwa toleransi dalam hadis mengarah kepada sikap
terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku
bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama, atau
yang lebih populer dengan sebutan inklusivisme, pluralisme dan
multikulturalisme. Hal ini sejalan firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
[Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi
Mahamengenal].
Seluruh manusia berada dalam lingkaran
‘sunnatullah’ ini. Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah swt menciptakan adanya
perbedaan dan penting untuk menghadapi dan menerima perbedaan-perbedaan itu,
termasuk dalam konteks teologis. Toleransi antar umat beragama yang berbeda
termasuk ke dalam salah satu kajian penting yang ada dalam sistem teologi
Islam. Oleh karena Allah swt. telah mengingatkan akan keragaman
kebenaran teologis dan jalan keselamatan manusia, sebagaimana firman Allah swt.
:
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا
النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ
وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ
شُهَدَاء
[Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di
dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu
diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada
Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebab-kan
mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi
terhadapnya].
Dalam ayat lain disebutkan:
وَآتَيْنَاهُ الإِنجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ
[Dan Kami telah mendatangkan Injil kepada Isa
al-Masih, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya dan membenarkan kitab
yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran
untuk orang-orang yang bertakwa].
Kedua ayat tersebut di atas dipahami bahwa dalam
kitab tersebut juga terdapat kebenaran, dan bersumber dari Allah Swt yang
diwahyukannya melalui orang-orang pilihan-Nya. Bahkan Allah swt. juga
memberikan penghargaan yang setara terhadap umat Yahudi dan Nasrani yang
melaksanakan hukum-Nya sebagaimana disebutkan dalam Alquran;
إنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى
مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وعَمِلَ صَالِحاً فَلاَ خَوْفٌ
عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
[Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang
Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang
benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati].
Ayat ini menegaskan bahwa yang mendapatkan
perlindungan dari Allah swt nanti tidak semata-mata penganut agama tertentu
saja, melainkan juga termasuk mereka yang beriman dan melakukan amal saleh.
Asbab an-nuzul ayat ini menjelaskan, pada suatu hari Salman al-Farisi
mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan keadaan penduduk al-Dayr, yang mana
mereka melakukan shalat, puasa, beriman dan bersaksi tentang kenabian Muhammad
saw. Lalu Rasulullah saw. berkata kepada Salman, “Mereka adalah penduduk
neraka”. Kemudian Allah swt menegur Rasulullah saw. dan menurunkan ayat
tersebut, bahwa sesungguhnya orang-orang Muslim, Yahuni, Nasrani, Sabiin dan
Majusi, terutama mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir dan melakukan
amal saleh, mereka akan mendapatkan surga-Nya. Allah swt yang Mahaagung dan
Mahaadil akan bertindak sebagai hakim dala memutuskan amal perbuatan setiap
hamba-Nya.
Dengan demikian, Islam dalam konteks QS. Ali
Imran/3: 85 (bahwa agama yang diterima disisi Allah hanya Islam), harus
dipahami sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammmad saw. sebagai kelanjutan dan
penyempurnaan dari agama yang dibawa para nabi sebelumnya, yang bermula pada
Nabi Ibrahim as. sampai kepada Nabi Musa as. dan Isa as.
Sikap penerimaan dan pengakuan terhadap yang lain,
sebagai ajaran toleransi yang ditawarkan Islam, sebagaimana disebutkan dalam
hadis-hadis maupun ayat Alquran cukup rasional dan praktis. Namun, dalam
hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, tidak bisa disamakan dan
dicampuradukkan, yang berarti bahwa keyakinan Islam kepada Allah swt
tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan
mereka, dan juga tatacara ibadahnya. Walaupun demikian, Islam tetap melarang
penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Oleh karena itu, kata tasâmuh
atau toleransi dalam Islam bukan sesuatu yang asing, tetapi sudah melekat
sebagai ajaran inti Islam untuk diimplementasiklan dalam kehidupan sejak
agama Islam itu lahir. Dalam konteks inilah hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari tentang أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ [agama yang paling dicintai oleh Allah,
adalah al-hanifiyyah as-samhah (yang lurus yang penuh toleransi), itulah
agama Islam.
Toleransi antar umat beragama dapat dimaknai
sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain
dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah)
masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun
tidak beribadah dari satu pihak ke pihak lain. Sebagai implementasinya dalam
praktek kehidupan sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi
yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam
kehidupan sehari-hari.
Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai
dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak.
Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling
memulia-kan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh
Rasulullah saw. saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah
rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi Muhammad saw. langsung
berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka
orang Yahudi, ya Rasul?” Nabi saw.. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”.
Hadis ini hendak menjelaskan bahwa, bahwa sisi akidah atau teologi
bukanlah urusan manusia, melainkan urusan Allah swt. dan tidak ada kompromi
serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan urusan mu’amalah antar sesama tetap
dipelihara dengan baik dan harmonis.
Saat Umar bin Khattab ra. memegang amanah sebagai
khalifah, ada sebuah kisah dari banyak teladan beliau tentang toleransi, yaitu
saat Islam berhasil membebaskan Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari
638 M. Tidak ada kekerasan yang terjadi dalam ‘penaklukan’ ini. Singkat
cerita, penguasa Jerusalem saat itu, Patriarch Sophorinus, “menyerahkan
kunci” kota dengan begitu saja. Suatu ketika, khalifah Umar dan Patriarch
Sophorinus menginspeksi gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba
waktu shalat, beliau ditawari Sophronius shalat di dalam gereja itu. Umar
menolak seraya berkata, “Jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya
akan menganggap ini milik mereka hanya karena saya pernah shalat di situ.”
Beliau kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu
jatuh itulah beliau kemudian shalat. Umar kemudian menjamin bahwa gereja
itu tidak akan diambil atau dirusak sampai kapan pun dan tetap terbuka untuk
peribadatan umat Nasrani.
B. Tantangan Penerapan Akhlak Islam dalam Kehidupan
Seiring
dengan perkembangan zaman yang semakin modern, tantangan akhlak juga semakin
banyak, tak sedikit manusia menjadi lupa diri dan berada diluar garis batas
ajaran agama. Sehingga kita butuh aqidah yang kokoh dan akhlak yang terpuji
untuk mengahadapi tantangan tersebut. Seperti kita tahu tantangan yang sering
kita hadapi namun jarang kita sadari yaitu Kemajuan teknologi yang semakin
mutakhir, gaya hidup, dan orientasi
hidup yang materialistis.
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami
oleh manusia sekarang ini tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap
hidup dan perilakunya, baik sebagai manusia beragama maupun sebagai makhluk
individual dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan
manusia atas kemajuan itu ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa
satu-satunya yang dapat membahagiakan hidup adalah material. Sehingga manusia
terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang
sebenarnya berfungsi untuk memelihara
dan mengendalikan akhlak manusia.
Nilai-nilai
spiritual yang dimaksudkan dalam Islam adalah ajaran agama yang berwujud
perintah, larangan dan anjuran, yang semuanya berfungsi untuk membina
kepribadian manusia dalam kaitannya sebagai Hamba Allah dan anggota masyarakat.
Gaya
hidup-pun menjadi tantangan agar lebih dapat mengontrol diri. Gaya hidup yang dimaksud disini adalah gaya
hidup hedonis atau foya-foya, dan kebarat-baratan. Seperti kita tahu selain tidak baik, Allah
sangat membenci segala sesuatu yang berlebihan. Gaya hidup ini cenderung hanya
mementingkan kesenangan semata, menghambur-hamburkan materi dalam jumlah banyak
secara sia-sia karena sebenarnya tidak ada keuntungan yang bisa didapat dari itu
melainkan hanya kesenangan sesaat. Padahal kalau kita memiliki aqidah yang
kokoh dan akhlak yang terpuji, tidak seharusnya kita berlaku seperti itu
melainkan lebih memilih untuk berbagi terhadap sesama karena akan lebih terasa
manfaatnya.
Orientasi
hidup yang hanya mengejar nilai-nilai material saja tidak bisa dijadikan sarana
untuk mencapai kebahagiaan, bahkan hal ini juga dapat menimbulkan bencana yang
hebat ketika hidup hanya berorientasi pada sesuatu yang merial (metrialistis) sehingga ada persaingan hidup yang tidak
sehat. Sementara manusia tidak memerlukan agama lagi untuk mengendalikan semua
perbuatannya, karena mereka menganggap agama tidak lagi dapat memecahkan
persoalan hidup.
Disinilah
kita akan tahu betapa pentingnya peranan aqidah dan akhlak dalam kehidupan
modern seperti sekarang. Aqidah dan akhlak akan menjadi benteng yang sangat
kuat dalam menghadapi segala dampak negatif kehidupan modern. Aqidah dapat
menyelamatkan diri kita dari segala bentuk dosa kecil yang jarang kita sadari,
aqidah juga dapat membuat kita selalu berbuat baik terhadap pencipta dan
sesama. Disamping aqidah yang kuat, akhlak yang terpuji akan menyelamatkan
manusia dari segala macam perbuatan dan tindakan yang bisa menjerumuskan
manusia dalam kesesatan.
Oleh
karena itu, kita sebagai manusia yang hidup didunia harus memiliki aqidah dan
akhlak sehingga kita tidak tersesat dan apa-apa yang kita lakukan tidak
melanggar ajaran agama yang telah ditentukan.
C. Upaya Peningkatan Kualitas Akhlak Islam
a. Penjagaan Diri
Alasan harus menjaga diri
1.
Upaya penjagaan seorang muslim terhadap dirinya tidak lain adalah upaya
melindunginya dari siksa Allah ta’ala dan neraka-Nya.
“Hai orang-orang yang
beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6)
2.
Jika ia
tidak menjaga diri sendiri, ia kehilangan waktu-waktu ketaatan dan moment-moment
kebaikan.
3.
Hisab kelak bersifat
individual
“Dan setiap mereka datang
kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri” (QS. Maryam : 95)
4.
Penjagaan diri lebih mampu
mengadakan perubahan
Seseorang lebih tau akan dirinya
sendiri, maka upaya penjagaan diri merupakan hal yang bagus dan sekaligus
menimbulkan perubahan pada diri seseorang tersebut.
Cara-cara penjagaan diri
1.
Musahabah diri
Melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas
kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan
yang ia miliki, agar ia tidak terperanjat kaget dengan sesuatu yang tidak
pernah ia bayangkan sebelumnya pada hari kiamat.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah
dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari
esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr : 18)
2.
Taubat dari segala dosa
3.
Mencari ilmu dan memperluas
wawasan
Seseorang dapat menjaga dirinya dengan
mencari ilmu agama. Dengan ilmu agama ia akan tahu perbuatan apa saja yang
seharusnya ia lakukan dan yang seharusnya tidak ia lakukan sebagai seorang
muslim.
4.
Mengerjakan amalan-amalan
iman
Antara lain :
a. Mengerjakan
ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin
b. Meningkatkan porsi
ibadah-ibadah sunnah
c. Peduli dengan ibadah
dzikir seperti membaca al-qu’ran dan berdzikir
Dengan
mengerjakan amalan-amalan iman insya Allah seseorang dapat mengingat Allah
dalam hari-harinya sehingga ia akan menjaga perbuatannya.
5.
Bergaul dengan orang-orang
shaleh
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap
pribadi seseorang. Maka untuk menjaga akhlak, kita harus bergaul dengan
orang-orang shaleh. Tidak hanya kita yang terjaga tetapi kita juga dapat saling
mengingatkan satu sama lainnnya.
6.
Berdoa kepada Allah dengan
sungguh-sungguh
Dengan berdoa secara sungguh-sungguh
kepada Allah, insya Allah kita dapat terhindar dari perbuatan yang tidak
bermanfaat.
b.Penjagaan Sesama
Muslim
Dalam meningkatkan kualitas akhlak kita
bisa melakukan penjagaan sesama muslim, karena dengan menjaga sesama muslim,
kita dapat meningkatkan kesadaran akan akhlak di lingkungan kita. Salah satu
cara dari penjagaan muslim adalah dengan cara dakwah.
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan
memanggil orang untuk beriman dan taat kepada
Allah sesuai dengan
garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar
(kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan
atau ajakan.
Kata dakwah
sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam",
sehingga menjadi "Ilmu dakwah" dan Ilmu Islam" atau ad-dakwah
al-Islamiyah.
Makna
etimologis Dakwah dapat dilihat dari kata dakwah dalam Al-Quran yang memiliki
banyak arti, antra lain :
·
Menyampaikan dan menjelaskan (lihat QS Fushilat:24,
Yusuf : 108 dll)
·
Berdo’a dan berharap (lihat QS Al-A’raf : 55)
·
Mengajak dan mengundang (lihat QS Yusuf : 33)
Ilmu
dakwah adalah suatu ilmu yang berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik
perhatian orang lain supaya menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan
suatu ideologi, agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang
menyampaikan dakwah disebut "Da'i" sedangkan yang menjadi obyek
dakwah disebut "Mad'u". Setiap Muslim yang menjalankan fungsi dakwah
Islam adalah "Da'i".".
D.
Integrasi
Akidah, Syariah dan Akhlak Islam
Ajaran Islam merupakan ajaran yang
sempurna, lengkap dan universal yang terangkum dalam 3 hal pokok; Akidah,
Syari’at dan Akhlak. Artinya seluruh ajaran Islam bermuara pada tiga hal ini.
Akidah adalah hal-hal asasi dan
mendasar dalam Islam yang berkenaan dengan keyakinan yang terletak di hati,
namun ia tidak seperti yan dipahami oleh non muslim di Barat. Di Barat, akidah
atau keimanan hanyalah hal-hal yan berhubungan dengan pembenaran (tashdiq) dan
yang dirasakan (syu’ur), artinya hati memainkan peran besar di sana. Berbeda
dengan akidah yang dipahami di dalam Islam, karena akidah dalam Islam, di samping
berkaitan dengan pembenaran hati, ia juga harus di iringi dengan dalil atau
sesuatu yang dapat membuktikan apa yang dibenarkan oleh hati itu dan di saat
yang sama ia juga harus sesuai dengan realita. Berarti disini bukan peran hati
saja yang bermain, tapi juga ada peran otak. Dengan adanya peran dua hal ini
(hati dan otak) akan terciptalah keseimbangan, sebagaimana yang disebutkan
Allah dalam firman-Nya:
Dan demikianlah Kami jadikan kalian
(umat Islam) sebagai umat pertengahan (adil/seimbang)…”(Al-Baqarah:143)
Syari’at merupakan ajaran Islam yang
berhubungan dengan perbuatan dan tindak-tanduk manusia. Secara garis besar
syari’at menghimpun urusan-urusan ritual ibadah dan semua pola hubungan manusia
baik itu dengan dirinya sendiri, sesama maupun lingkungannya.
Sedang Akhlak adalah sifat manusia
(baik ataupun buruk) yang akan muncul pengaruhnya dalam kehidupannya. Dalam
prakteknya akhlak bisa dikatakan buah atau hasil dari akidah yang kuat dan
syari’at yang benar, dan itulah tujuan akhir dari ajaran Islam ini, sebagaimana
sabda Rasul SAW: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Karena sumber agama adalah Allah SWT,
maka untuk menjelaskan itu semua diutuslah para nabi dan rasul. Semua rasul
tersebut diajarkan melalui wahyu-Nya tentang aqidah yang bernar, yang tidak
pernah berubah sepanjang sejarah meskipun berganti rasul dan nabi yang
diutus-Nya. Hal inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firmannya QS: Asy-Syura
ayat 13,
“Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu
tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami
wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…”
Artinya, secara akidah risalah para
rasul dan nabi tidak ada perbedaan, apa yang diturunkan kepada Nabi Nuh a.s,
Ibrahim a.s, Musa a.s, Isa a.s dan nabi-nabi lainnya tidak berbeda dengan apa
yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW dari sisi akidah, yaitu keyakinan dan
iman kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan Pencipta dan Pengatur segala.
Inilah dia dasar agama samawi yang sesungguhnya dan dengan inilah umat manusia
sejak zaman Nabi Adam a.s sampai akhir zaman mesti bersatu…
“Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah-belah tentangnya..!”
Sedangkan yang berhubungan dengan
syari’at, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan amal, perbuatan dan perilaku
manusia, disinilah letak sebagian besar perbedaan antara agama-agama
samawi, karena setiap umat dan rasul memiliki syari’at dan kondisi yang berbeda-beda
sebagaimana firman Allah:
“untuk tiap-tiap umat Kami berikan
aturan (syari’at) dan jalan yang terang (minhaj). sekiranya Allah menghendaki,
niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu
terhadap pemberian-Nya kepadamu.” (QS Al-Maidah: 48)
Demikianlah Allah menjadikan syari’at
tiap umat berbeda, sesuai dengan kondisi dan tabiat masing-masing. Syari’at
yang berbeda-beda itu terus berkembang dan berubah sampai menemui titik puncak
kesempurnaannya pada syari’at Islam, yang selamanya bisa berlaku dan sesuai
dengan perkembangan dan perbedaan tabiat manusia sampai akhir zaman, karena
syari’at Islam adalah syari’at yang mudah dipelajari dan menjadikan
kemaslahatan umat manusia sebagai salah satu asasnya.
Dengan demikian syari’at dapat
menerima pergantian, perubahan dan penghapusan, seperti syari’at Nabi Musa a.s
yang dihapus dan diganti dengan datangnya syari’at Nabi Isa a.s, namun lain
halnya dengan akidah, ia sebaliknya tidak bisa berganti dan berubah karena ia adalah sesuatu yang
asasi dan titik temu antar generasi umat manusia.
Sedang masalah moralitas dan akhlak
(etika) juga sebagai sisi penting yang memberikan keseimbangan bagi seorang
muslim sejati.
Sebagai buah dari syari’at dan akidah
yang baik, menjadikan akhlak dalam Islam menyentuh semua lini, mulai dari
lini hubungan manusia dengan dirinya, dengan sesama manusia, dengan lingkungan
bahkan hubungan manusia dengan Tuhannya. Semuanya mestilah mendapatkan percikan
nilai-nilai akhlak dan moralitas.
Dan bisa dikatakan juga akidah
seseorang tidak sempurna jika tidak dibarengi dengan akhlak, seperti akhlak
kepada Allah, Rasul-Nya dan sebagainya dalam hal akidah, bagaimana mungkin
seseorang bisa dikatakan berislam dengan baik jika ia menghina Tuhannya
sendiri, mengejek dan menyematkan icon-icon yang menjatuhkan kemuliaan
Rasulnya?.
Demikian juga syari’at, mesti juga
diiringi dengan akhlak dan moral, tidak perlu mengambil contoh jauh, shalat
saja terang-terangan salah satu tujuannya adalah untuk menghindarkan manusia
dari sifat keji dan mungkar yang sekaligus menjelaskan sisi moralitas dari
ibadah dalam Islam,
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari
(perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar”. (QS. Al-Ankabut: 45).
Aqidah, Syariah dan akhlak pada
dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam. Ketiga unsur tersebut
dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Aqidah sebagai sistem
kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber
dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai sistem nilai berisi peraturan yang
menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistematika menggambarkan
arah dan tujuan yang hendak dicapai agama.
E. Peran Akidah, Syariah dan
Akhlak dalam Pembentukan Manusia Taqwa
1. Takwa merupakan
manifestasi kepahaman seorang Muslim akan kebaikan dan keburukan serta perintah dan
larangan Allah SWT
2. Ketakwaan
adalah cermin sinergi dari Aqidah, Syariah dan Akhlak, seperti yang
tersirat dalam Q.S Al-Baqarah 2: 2-3, 177.
3. Muttaqiin
adalah mereka yang berhasil
menyatukan seluruh pokok ajaran agama danmenyeimbangkan akal dan nafsu serta
menunjukkan totalitas identitas sebagai Mukmin
4. Tantangan zaman
sukses dihadapi dengan keteguhan dalam keimanan, kesungguhan dalam kepatuhan ibadah, dan
pengamalan nilai agama dengan bulat hati dan ikhlas.
Daftar Pustaka:
Al qur’an
Chaniago, H. Muhammad Alfis. (2009). Indeks dan Syarah: 1646 Hadist Pilihan dari
6 Kitab Hadist Shaheh. Bekasi: Cv. Alonso Pratama
Kaelany.
(2014). Islam Agama Universal.
Jakarta: Midada Rahma Press.
Kaelany.
(2014). Akhlak Mulia. Jakarta: Midada
Rahma Press
Nata, Abuddin.(2011). Studi Islam Komprehensif. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
http://tehbri.blogspot.com/2009/10/sistem-akhlak-islam-siri-4.html
(Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 17:03)
http://muchsinal-mancaki.blogspot.com/2012/01/hakikat-akhlak.html
(Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 17:04)
http://nafimubarokdawam.blogspot.com/2013/04/karakteristik-dan-ruang-lingkup-akhlak.html
(Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 17:16)
http://imammorati23.wordpress.com/2011/05/16/macam-–-macam-nilai-akhlak-dan-sumbernya
(Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 17:20)
http://qalammag.wordpress.com/2010/05/11/kedisiplinan-islam
(Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 17:34)
http://hikmah-kata.blogspot.com/2012/09/pengertian-dan-hakikat-jujur-menurut.html
(Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 17:38)
http://ambar-sensai.blogspot.com/2012/01/kerjasama-menurut-islam.html
(Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 17:52)
http://msibki3.blogspot.com/2013/04/hadis-hadis-tentang-toleransi.html
(Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 18:20)
http://ragab304.wordpress.com/2007/05/10/islam-akidah-syariah-dan-akhlak/ (Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 18:32)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar