Dalam kehidupan kita seringkali kita menganggap orang yang IQ nya tinggi akan meraih sukses dalam kehidupanya. Namun IQ hanya mengukur tingkat kecerdasanya saja. Para ilmuwan telah meneliti
berbagai faktor penting yang berkontribusi pada kesuksesan hidup. Dari
penelitian itu ditemukanlah faktor-faktor penting penyumbang kesuksesan hidup
orang. Dengan ditemukanya faktor penentu sukses itu, dunia pendidikan juga ikut
berlomba-lomba dan berkontemplasi untuk merumuskan filosofi, paradigma,
strategi, dan metodologi. Rumusan tersebut digunakan kepada peserta didik untuk
mendaki kesuksesan hidup.
Faktor
signifikan yang telah mendapat perhatian yang luas ialah IQ dan EQ. kelahiran
EQ membuat
arah baru pendidikan secara luas. sebab, dalam banyak penilitian
terbukti IQ tidak lagi menjadi satu-satunya prediktor sukses peserta didik
di masa datang. Ketika IQ
didewa-dewakan, pengembangan kurikulum hampir di seluruh dunia pada era jayanya
IQ selalu berorientasi pada upaya bagaimana mengemas program pembelajaran yang
bisa memberikan kecerdasan otak secara maksimal pada peserta didik.
Setelah
EQ ditemukan oleh Goleman, kurikulum harus dan mutlak memperhatikan
faktor-faktor non kognitif, seperti kecerdasan sosial, kecerdasan spiritual,
pengendalian emosi, dan memahami emosi orang lain. Bahkan, Goleman mengklaim IQ
hanya berkontribusi 20% terhadap kesuksesan peserta didik. 80% ditentukan oleh
faktor lain di luar IQ, dimana EQ masuk di dalamnya secara signifikan. Oleh
karena itu, jika suatu bangsa ingin membuat kurikulum yang bisa mengantarkan
peserta didik menjadi sukses, kurikulum itu juga harus memberikan menu belajar
yang mencakup aspek lainya seperti sikap, perilaku, kepribadian, keberagaman,
budi pekerti dan kecerdasan otot.
Dua
tahun kemudian setelah ditemukanya EQ, munculah Adversity Quotient (AQ) oleh
Paul Stoltz (1997). Pada hakikatnya AQ merupakan kapasitas seseorang untuk
menghadapi berbagai bentuk tekanan dan ketidaknyamanan dalam situasi tertentu.
Orang yang AQ-nya tinggi akan tahan banting, dalam arti fisik, mental, dan kejernihan
berpikir. Ia bisa segera kembali ke keadaan normal setelah berhadapan dengan
berbagai tekanan dan tantangan. Sebaliknya, orang yang AQ rendah akan selalu
menyalahkan lingkungan ketika gagal sehingga dia tak bisa mengambil keputusan
untuk sukses. Orang hidup tak ada yang bebas dari tekanan dan tantangan. Kalau
semua tekanan itu berhasil dilewati, sukselah mereka. Kalau gagal reduplah
suasana hati dan pikiran saat itu.
Oleh
sebab itu, kapasistas untuk bisa menghadapi berbagai tekanan harus diajarkan dan
dilatih sejak mereka duduk di bangku sekolah. Dengan cara seperti itu, siswa
akan bisa merespons positif terhadap tekanan yang akan memberi jalan kepada
kesuksesan hidup kelak. Jadi, Belajar tidak cukup dengan pendekatan
menyenangkan semata. Karena hidup identik dengan tantangan. Maka siswa harus
bisa tertantang agar dapat membangun AQ-nya.
Sumber:
KOMPAS, Artikel: Kurikulum Pendidikan Haruslah Memberi Tantagan bagi Siswa, 15 Februari 2013
Sumber:
KOMPAS, Artikel: Kurikulum Pendidikan Haruslah Memberi Tantagan bagi Siswa, 15 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar