Minggu, 29 Juni 2014

Akhlak Islam



Bab 1
Akhlak Islam
A.   Sistem Akhlak Islam

Salah satu ciri khusus sistem akhlak Islam ialah syumul dan lengkap. Syumul di sini bermaksud akhlak Islam itu luas bidangnya dan meliputi semua aspek perbuatan manusia, baik yang mengenai diri individu mahupun mengenai orang lain, baik mengenai hubungan individu, masyarakat mahupun negara. Tidak ada suatu pun perbuatan manusia yang terkeluar dari peraturan akhlak Islam. Setiap muslim diwajibkan memelihara akhlak Islam.


B.   Pengertian dan Hakikat Akhlak Islam

Menurut pendekatan etimologi, perkataan "akhlak" berasal dari bahasa Arab jama' dari bentuk mufradnya "Khuluqun" yang menurut logat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuain dengan perkataan "khalkun" yang berarti kejadian, serta erat hubungan "Khaliq". Sedangkan menurut pendekatan secara terminologi, berikut ini beberapa pakar mengemukakan pengertian akhlak sebagai berikut:
1.   Ibn Miskawaih
Bahwa akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa melalui pertimbangan pikiran lebih dahulu.
2.   Imam Al-Ghazali
Akhlak adalah suatu sikap yang mengakar dalam jiwa yang darinya lahir berbagai perbuatan dengan mudah dan gampang, tanpa perlu kepada pikiran dan pertimbanagan. Jika sikap itu yang darinya lahir perbuatan yang baik dan terpuji, baik dari segi akal dan syara', maka ia disebut akhlak yang baik. Dan jika lahir darinya perbuatan tercela, maka sikap tersebut disebut akhlak yang buruk.
Dengan demikian, tampak bahwa seluruh definisi akhlak sebagaimana tersebut di atas tidak ada yang saling bertentangan, melainkan saling melengkapi, yaitu sifat yang tertanam kuat dalam jiwa yang nampak dalam perbuatan lahiriah yang dilakukan dengan mudah, tanpa memerlukan pemikiran lagi dan sudah menjadi kebiasaan.
Jika dikaitkan dengan kata Islami, maka akan berbentuk akhlak Islami, secara sederhana akhlak Islami diartikan sebagai akhlak yang berdasarkan ajaran Islam atau akhlak yang bersifat Islami. Kata Islam yang berada di belakang kata akhlak dalam menempati posisi sifat. Dengan demikian, akhlak Islami adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan sebernya berdasarkan pada ajaran Islam.  
Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menjabarkan akhlak universal diperlukan bantuan pemikiran akal manusia dan kesempatan sosial yang terkandung dalam ajaran etika dan moral. Menghormati kedua orang tua misalnya adalah akhlak yang bersifat mutlak dan universal. Sedangkan bagaimana bentuk dan cara menghormati oarng tua itu dapat dimanifestasikan oleh hasil pemikiran manusia. Jadi, akhlak Islam bersifat mengarahkan, membimbing, mendorong, membangun peradaban manusia dan mengobati penyakit jiwa dan mental, serta tujuan berakhlak adalah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

C.   Ruang Lingkup Akhlak Islam

1.      Akhlak terhadap Allah
a. Mengabdi hanya kepada Allah
Bertaqwa dan mengabdi hanya kepada Allah, tidak akan mempersekutukan-Nya dengan apa pun dalam bentuk apa pun, serta dalam keadaan situasi dan kondisi yang bagaimanapun.
Artinya: “Dan Aku (Allah) tidak ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku”.(QS. Adz-Dzariyat: 56).
b. Tunduk dan patuh kepada Allah
Artinya: “Taatlah kepada (perintah) Allah dan (perintah) Rasul-Nya supaya kalian mendapat rahmat”.(QS. Ali ‘Imran: 132(
c. Tawakkal
Artinya: “Yang apabila terjadi terhadap mereka satu kesusahan, mereka berkata; sesungguhnya kami ini milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kami akan kembali”. (QS. Al-Baqarah: 15)
d. Bersyukur kepada Allah
Artinya: “Dan (ingatlah), tatkala Tuhan kamu memberitahu; jika kamu berterima kasih, niscaya Aku tambah nikmat bagi kamu, apabila kamu tidak bersyukur, maka adzab-Ku itu sangat pedih”.(QS. Ibrahim: 6-7)
e. Penuh harap kepada Allah
Artinya: “Sesungguhnya ummat yang beriman dan berhijrah serta bekerja keras (berhijrah) di jalan Allah, mereka itu (ummat yang) berharap rahmad Allah; dan Allah itu Pengampun, Penyayang”.(Al-Baqarah: 218)   
f. Ikhlas menerima keputusan Allah
Artinya: “Dan alangkah baik jika mereka ridha dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya berikan kepada mereka, sambil mereka berkata: cukuplah Allah bagi kami, sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya akan member kepada kamu karunia-Nya, sesungguhnya kami mencintai Allah”.(QS. At-Taubah: 59)[1][5]
g. Tadlarru’ dan khusyu’
Artinya: “Beruntunglah orang-orang yang beriman. Mereka yang khhusyu’ dalam shalatnya”. (QS. Al-Mukminun: 1-2)
“Bermohonlah kepada Tuhan kalian dengan rendah hati dan dengan rahasia (suara hati). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melanggar batas”.(QS. Az-Zumar: 53)
h. Husnud-dhan
Artinya: “Janganlah mati salah seorang dari kalian, melainkan dalam keadaan baik sangka kepada Allah”.(H.R. Muslim)
i.      Taubat dan istighfar
Artinya: “Hai orang-orang beriman! Hendaklah kalian benar-benar taubat kepada Allah, agar segala dosa kalian diampuni dan kalian dimasukkan ke dalam surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai”.(QS. At-Tahrim: 8)[2][6]
2.      Akhlak terhadap Makhluk
a.       Akhlak kepada Manusia
1)      Rasulullah meliputi mencintai Rasulullah secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya, menjadikan Rasulullah sebagai idola dalam hidup dan kehidupan, menjalankan apa yang diperintah dan menjauhi larangannya.
2)      Akhlak terhadap orang tua meliputi mencintai mereka melebihi cinta kepada kerabat lainnya, merendahkan diri kepada keduanya diiringi rasa kasih sayang, berkomunikasi dengan orang tua dengan khidmat, pergunakan kata-kata lemah lembut, berbuat baik kepada keduanya sebaik-baiknya dan mendoakan keselamatan dan keampunan bagi mereka kendatipun seorang atau kedua-duanya telah meninggal dunia.
3)      Akhlak terhadap diri sendiri meliputi : Memelihara kesucian diri, baik jasmaniah maupun rohaniah, Memelihara kerapihan diri, Berlaku tenang, Menambah ilmu pengetahuan, Membina disiplin pribadi, Pemaaf dan memohon maaf, Sikap sederhana dan jujur dan Menghindari perbuatan tercela.
4)      Akhlak terhadap keluarga dan karib kerabat, antara lain : saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, berbakti kepada ibu bapak, mendidik anak-anak dengan kasih sayang dan memelihara hubungan silaturrahim.
5)      Akhlak terhadap tetangga, antara lain : saling mengunjungi, saling bantu diwaktu senang lebih-lebih tatkala susah, saling beri member, saling hormat menghormati, saling menghindari pertengkaran dan permusuhan.
6)      Akhlak terhadap masyarakat, meliputi memuliakan tamu, menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, saling menolong dalam melakukan kebajikan dan taqwa, menganjurkan anggota masyarakat termasuik dirin sendiri berbuat baik dan mencegah diri sendiri dan mencegah orang lain melakukan perbuiatan jahat dan munkar dan bermusyawarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama.
b.      Akhlak kepada bukan manusia atau lingkungan hidup antara lain : sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup, menjaga dan memanfaatkan alam terutama hewani dan nabati, fauna dan flora yang sengaja diciptakan tuhan untuk kepentingan manusia dan makhluk lainnya, sayang pada sesama makhluk.

D.   Nilai Akhlak Islam dalam Kehidupan
Seperti yang telah diketahui bahwa timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap Allah SWT adalah ukuran yang menentukan corak hidup manusia. Akhlak atau moral adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan. Tiap-tiap perbuatan adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran  kesusilaan adalah menentang kesadaran itu. Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah hal yang membedakan khalal dan kharam, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut dan tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah yang sebagai subjek bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan itu.
Dari definisi akhlak telah disebutkan sebelumnya tentunya akhlak mempunyai nilai akhlak tersendiri dan nilai akhlak ini adalah nilai yang membahas mengenai mana yang baik dan mana yang tidak baik dan bagaimana seseorang untuk dapat berbuat baik. Jadi nilai akhlak dapat dibagi menjadi bermacam – macam nilai antara lain nilai Spiritual, nilai Absolut.
Nilai Spiritual adalah nilai yang memiliki hubungan dengan sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan sakral suci dan agung. Itu termasuk dalam nilai kerohanian, yang terletak dalam hati. Bila dilihat tinggi rendahnya nilai-nilai yang ada, nilai spiritual merupakan nilai tertinggi dan bersifat mutlak karena bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam kehidupan sosial budaya keterkaitan seseorang dihubungkan dengan pandangan hidup suatu masyarakat atau kehidupan beragama. Setiap orang akan selalu memilki pandangan atau persepsi akan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan yang melebihi manusia, dalam pandangan orang beragama disebut sebagai yang Maha Kuasa, Allah, Sang Hyang Widi, Tuhan, God, Yang Maha Pencipta, dan sebagainya.
Manusia sangat tergantung dan hormat pada kekuatan yang ada di luar dirinya, bahkan memujanya untuk melindungi dirinya bila perlu  rela mengorbankan semuanya yaitu harta dan  jiwa sebagai bukti kepatuhan dan yang mempunyai ketundukan terhadap kekuatan tersebut. Yang Kedua adalah nilai Absolut. Nilai Absolut adalah adalah kebenaran dan kebaikan sebagai nilai-nilai yang akan mengantarkan kepada kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat secara individual dan sosial. Didalam nilai absolut tersebut terdapat bermacam – macam nilai yang akan menuntun manusia kejalan yang benar dan tentunya akan sukses di dunia dan di akhirat. Antara lain adalah adanya nilai sosial dan nilai kemanusiaan yang bersumber dari manusia sendiri.
Setelah membaca penjelasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dapat dikatakan bahwa akhlak sangat menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya.  Akhlak yang ada di kehidupan ini adalah akhlak yang bersumber dari petunjuk Al-Qur’an dan Hadist yang kesemuanya tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriah.















Bab 2
Sistem Implementasi Akhlak Islam
A.   Penerapan Nilai-nilai Karakter Keagamaan
1.  Nilai Kedisiplinan
Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan, perintah dan peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap menaati peraturan dan ketentuan yang telah ditetapkan tanpa pamrih.
Dalam ajaran Islam, banyak ayat al-Qur`an dan hadist, yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan. Antara lain disebutkan dalam surah an-Nisâ` ayat 59, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. an-Nisâ` [4]: 59)
Dari ayat di atas terungkap pesan untuk patuh dan taat kepada para pemimpin, dan jika terjadi perselisihan di antara mereka, maka urusannya harus dikembalikan kepada aturan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Namun, tingkat kepatuhan manusia kepada pemimpinnya tidak bersifat mutlak. Jika perintah yang diberikan pemimpin bertentangan dengan aturan atau perintah Allah dan Rasul-Nya, maka perintah tersebut harus tegas ditolak dan diselesaikan dengan musyawarah. Namun jika aturan dan perintah pemimpin tidak bertentangan dengan Syariat Allah dan Rasul-Nya, maka Allah menyatakan ketidak-sukaannya terhadap orang-orang yang melewati batas.
Di samping mengandung arti taat dan patuh pada peraturan, disiplin juga mengandung arti kepatuhan kepada perintah pemimpin, perhatian dan kontrol yang kuat terhadap penggunaan waktu, tanggungjawab atas tugas yang diamanahkan, serta kesungguhan terhadap bidang keahlian yang ditekuni.
Seperti perintah untuk memperhatikan dan menggunakan waktu sebaik-baiknya. Dalam al-Qur`an misalnya disebutkan: Wal-fajri (demi waktu Subuh), wadh-dhuhâ (demi waktu pagi), wan-nahar (demi waktu siang), wal-‘ashr (demi waktu sore), atau wal-lail (demi waktu malam).
Maka, kita harus pandai-pandai menggunakan waktu sebaik-baiknya. Tapi, jangan pula kita gunakan waktu untuk kepentingan akhirat namun mengorbankan kepentingan duniawi, atau sebaliknya. Menggunakan waktu dalam usaha mencari karunia dan ridha Allah, hendaknya seimbang dan proporsional.
Ada juga perintah untuk menekuni bidang tertentu hingga menghasilkan karya atau keahlian tertentu sesuai potensi yang dimiliki. Masing-masing orang dengan keahliannya, diharap dapat saling bekerjasama dan bahu-membahu menghasilkan buah karya yang bermanfaat bagi banyak orang. “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.” (Qs. al-Isrâ` [17]: 84)
Pesan-pesan moral yang terkandung dalam ajaran Islam, memberi interpretasi yang lebih luas dan jelas kepada umatnya untuk berlaku dan bertindak disiplin. Bahkan dari beberapa rangkaian ibadah, seperti shalat, puasa, zakat maupun haji, terkandung perintah untuk berlaku disiplin.
Dengan demikian, nilai-nilai moral ajaran Islam diharapkan mampu menjadi energi pendorong pelaksanaan kedisplinan. Dalam skala lebih luas, untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
2.  Nilai Kejujuran
Jujur dapat diartikan bisa menjaga amanah. Jujur merupakan salah satu sifat manusia yang mulia, orang yang memiliki sifat jujur biasanya dapat mendapat kepercayaan dari orang lain. Sifat jujur merupakan salah satu rahasia diri seseorang untuk menarik kepercayaan umum karena orang yang jujur senantiasa berusaha untuk menjaga amanah. Amanah adalah ibarat barang titipan yang harus dijaga dan dirawat dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Berhasil atau tidaknya suatu amanat sangat tergantung pada kejujuran orang yang memegang amanat tersebut. Jika orang yang memegang amanah adalah orang yang jujur maka amanah tersebut tidak akan terabaikan dan dapat terjaga atau terlaksana dengan baik. Begitu juga sebaliknya, jika amanah tersebut jatuh ke tangan orang yang tidak jujur maka ‘keselamatan’ amanah tersebut pasti ‘tidak akan tertolong’.

Dengan demikian, jujur dapat pula diartikan kehati-hatian diri seseorang dalam memegang amanah yang telah dipercayakan oleh orang lain kepada dirinya. Karena salah satu sifat terpenting yang harus dimiliki bagi orang yang akan diberi amanah adalah orang-orang yang memiliki kejujuran. Karena kejujuran merupakan sifat luhur yang harus dimiliki manusia. Orang yang memiliki kepribadian yang jujur, masuk dalam kategori orang yang pantas diberi amanah karena orang semacam ini memegang teguh terhadap setiap apa yang ia yakini dan menjalankan segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Karena orang yang jujur umumnya akan bertanggung jawab penuh akan segala yang diberikan atau dibebankan kepadanya maka pasti ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menjalankan kewajibannya tersebut dengan sungguh-sungguh. Selain itu orang yang dalam lubuk hatinya mengalir darah kejujuran maka ia tidak akan sanggup menyakiti atau melukai perasaan orang lain. Dan karena itulah orang semacam ini pantas diberi amanah, dengan kejujurannya ia tidak akan sanggup mengecewakan orang yang telah memberinya amanah tentukan bukan amanah yang menyesatkan.


Kejujuran adalah perhiasan orang berbudi mulia dan orang yang berilmu. Oleh sebab itu, sifat jujur sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap umat Rasulullah saw. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya.” (Q.S. an-Nisa: 58).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghianati Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu menghianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Q.S. al-Anfal: 27).

Dari dua ayat tersebut didapat pemahaman bahwa manusia, selain dapat berlaku tidak jujur terhadap dirinya dan orang lain, adakalanya berlaku tidak jujur juga kepada Allah dan Rasul-Nya. Maksud dari ketidakjujuran kepada Allah dan Rasul-Nya adalah tidak memenuhi perintah mereka. Dengan demikian, sudah jelas bahwa kejujuran dalam memelihara amanah merupakan salah satu perintah Allah dan dipandang sebagai salah satu kebajikan bagi orang yang beriman.

Orang yang mempunyai sifat jujur akan dikagumi dan dihormati banyak orang. Karena orang yang jujur selalu dipercaya orang untuk mengerjakan suatu yang penting. Hal ini disebabkan orang yang memberi kepercayaan tersebut akan merasa aman dan tenang.

Jujur adalah sikap yang tidak mudah untuk dilakukan jika hati tidak benar-benar bersih. Namun sayangnya sifat yang luhur ini belakangan sangat jarang kita temui, kejujuran sekarang ini menjadi barang langka. Saat ini kita membutuhkan teladan yang jujur, teladan yang bisa diberi amanah umat dan menjalankan amanah yang diberikan dengan jujur dan sebaik-baiknya. Dan teladan yang paling baik, yang patut dicontoh kejujurannya adalah manusia paling utama yaitu Rasulullah saw. Kejujuran adalah perhiasan Rasulullah saw. dan orang-orang yang berilmu.

3.    Kerjasama

Untuk menjadi bangsa yang luhur, kita harus menanamkan nilai-nilai luhur dari bangsa kita sendiri. Kekayaan budaya, suku, bahasa, ras dan agama menjadikan Bhineka Tunggal Ika (biarpun berbeda tetapi tetap satu Indonesiaku) harus selalu dijunjung diatas segalanya. Kerukunan sejatinya adalah modal dasar manusia sebagai makhluk sosial yang selalu ingin berkelompok. Sebab, kerukunan merupakan media untuk mengumpulkan energi positif. Energi positif inilah yang sangat diperlakukan untuk membangun kehidupan sosial kea rah yang lebih baik, dalam bentuk pembangunan. Selain kerukunan, hal lain yang tak boleh diabaikan adalah masalah kekompakan. Sebab, rukun, tak selalu kompak. “Manusia bisa saja rukun, meski berbeda pendapat, namun kekompakan membutuhkan kesamaan pendapat, visi, sampai bagaimana memulai dan mengakhiri pekerjaan,”

Ada enam thobi’at luhur sebagai bagian dari akhlakul karimah yang harus dimiliki orang yang beriman untuk dijadikan sikap hidup (karakter) yang harus dikedepankan ketika melakukan kehidupan bersama, maupun sebagai watak pribadi yang mewarnai kehidupan sehari-hari. Dari enam thobi’at luhur itu tiga diantaranya merupakan thobi’at atau perilaku yang harus diwujudkan dalam kehidupan bersama yaitu rukun, kompak dan kerja sama yang baik. Sedangkan tiga yang lainnya merupakan watak atau thobi’at yang harus dimiliki dan diamalkan oleh tiap-tiap pribadi orang beriman yaitu jujur, amanah dan mujhid muzhid.
a. Rukun
Sewaktu Nabi Adam AS diturunkan ke dunia, Allah telah menyebutkan bahwa anak cucu Adam nanti akan bermusuhan satu sama lain. Adalah Allah yang memberikan nikmat terhadap sebagian anak cucu Adam untuk dirukunkan hatinya, dihidupkan dalam kehidupan bersama dalam nuansa persaudaraan seiring dengan keimanan atau hidayah. Allah berfirman :
 وَاذْكُرُوْا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَنًا …الأية * سورة ال عمران اية ١٠٣
Dan ingatlah nikmat Allah kepada kalian, ketika kalian bermusuhan, kemudian Allah menyatukan hati kalian sehingga kalian menjadi bersaudara sebab nikmat-Nya… (QS. Ali Imron : 103).
Kerukunan yang diberikan Allah kepada orang beriman adalah kerukunan lahir dan batin. Sedangkan orang-orang yang tidak beriman apabila terjadi kerukunan hanya lahirnya saja, yaitu karena sama-sama mempunyai kepentingan yang menurut kalkulasi mereka perlu kebersamaan untuk mewujudkannya. Sedang dalam hati mereka saling curiga, saling dengki, ingin lebih untung daripada yang lain, dsb.Rukun adalah suatu sifat atau thobi’at orang beriman yang tidak mempunyai uneg-uneg, prasangka buruk, dengki, iri hati kepada sesamanya. Saling mengasihi serta bantu-membantu dalam kebaikan, tolong menolong, kuat memperkuat, saling mendoakan yang baik dan bersikap ramah terhadap sesama. Firman Allah dalam Al Qur’an : 
وَأَطِيْعُوا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَلاَ تَنَازَعُوْا فَتَفْشَلُوْا وَتَذْهَبَ رِيْحُكُمْ وَاصْبِرُوْآ إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ * سورة الأنفال ٤٦
Dan thoatlah kalian kepada Allah dan Rosul-Nya dan janganlah kalian berselisih (tidak rukun) maka kalian menjadi gentar (takut) dan hilanglah kekuatan kalian, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al Anfaal : 46)
b. Kompak
Kompak adalah bersama-sama melakukan kegiatan ibadah dengan giat, senang, seia sekata. Lazimnya kompak akan berhasil diwujudkan bila didukung dengan rukun terlebih dahulu. Dalam suasana tidak rukun sulit kiranya dilakukan kegiatan bersama. Namun demikian keadaan tidak kompak juga bisa terjadi karena terdapat persepsi yang berbeda mengenai kegiatan tersebut. Untuk mengatasi hal ini perlu penjelasan yang sejelas-jelasnya dan lebih terperinci terutama yang menyangkut operasionalnya guna meniadakan hal-hal yang dapat menimbulkan multi tafsir. Allah berfirman :
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الَّذِيْنَ فِى سَبِيْلِهِ صَفاًّ كَأَنَّهُمْ بُنْياَنٌ مَّرْصُوْصٌ * سورة الصف
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dengan berbaris bagaikan bangunan yang tersusun kokoh (QS. As Shof : 4)
Sehubungan dengan kemampuan sesorang tidak sama, maka diperlukan praktek kekompakan guna membangun solidaritas atau kesetiakawanan terhadap sesama. Seperti kalau ada yang sakit sama-sama dibesuk, kalau ada yang meninggal sama-sama dilayat. Semua itu merupakan kegiatan yang menunjukkan kekompakan.
c. Kerja Sama yang Baik
Kerja sama yang baik adalah sikap orang beriman yang saling peduli, saling mendukung, saling melancarkan, tidak jegal-menjegal, tidak jatuh-menjatuhkan, tidak rugi-merugikan dan tidak saling memfitnah. Kerja sama yang baik juga mengandung arti kerja sama dalam hal kebaikan yang sama-sama dikerjakan dengan baik untuk mendapatkan kebaikan bersama. Firman Allah SWT :
وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ … الأية * سورة المائدة
Dan tolong menolonglah kalian atas kebaikan dan ketaqwaan, dan janganlah tolong menolong atas dosa dan permusuhan… (QS. Al Maidah : 2)
Demikian pula kerja sama yang baik bukan sekedar yang penting sama-sama bekerja, akan tetapi ada pembagian tugas sesuai dengan bidang keahlian masing-masing. Tidak memberi tugas kepada yang bukan ahlinya, sehingga diharapkan mendapat hasil yang optimal.
d. Jujur
Jujur adalah sikap orang iman yang apabila berkata benar, tidak dusta, tidak menipu. Jujur atau shiddiq adalah salah satu sifat kenabian di samping amanah, tabligh dan fathonah. Berbahagialah orang yang dikaruniai watak jujur karena hidupnya akan tenteram dan damai karena sikapnya yang polos, tidak dibuat-buat, tidak ada kepalsuan, tidak ada dusta, tidak menipu sehingga tidak ada beban karena khawatir terbongkarnya sesuatu yang disembunyikan dalam dirinya. Sesungguhnya ketika seseorang tidak jujur, sebenarnya dia telah menciptakan perang dalam hati nuraninya sendiri.
e. Amanah
Amanah adalah sikap pribadi orang beriman yang artinya bisa dipercaya dan menjaga kepercayaan, tidak khianat dan menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya. Amanah juga merupakan sifat kenabian, bahkan Nabi Muhammad SAW sebelum menjadi nabi telah mendapat gelar Al-Amin (orang yang dapat dipercaya). Firman Allah SWT :
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّو اْلأَمَاناتِ إِلىَ أَهْلِهَا … الأية * سورة النساء ٨٥ 
Sesungguhnya Allah memerintah kepada kalian untuk menyampaikan amanat-amanat kepada ahlinya (yang berhak menerima). (QS. An Nisaa’ : 58)
يَآ أَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْا لاَتَخُوْنُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ * سورة الأنفال
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rosul dan janganlah mengkhianati amanat-amanat (yang dipercayakan) kalian, sedang kalian mengetahui. (QS. Al Anfaal : 27) 
f. Mujhid Muzhid
Seseorang dapat dikatakan hidupnya mujhid apabila dalam kehidupan sehari-hari kerjanya giat, semangat dan cukup sesuai dengan jenis kerja tersebut. Seseorang dikatakan muzhid apabila kehidupan sehari-harinya mengatur penghasilan dengan hidup hemat, tidak boros dan dapat mengukur kemampuannya. Ada dua cara yang lazim bagi seseorang agar terpenuhi kebutuhannya yaitu menambah penghasilan atau mengurangi pengeluaran. Bila kedua cara itu ditempuh sekaligus bersama-sama maka artinya ia sedang praktek mujhid muzhid. Sabda Rosulullah SAW :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُزْهِدُ الْمُجْهِدُ * رواه أحمد
Sungguh beruntung orang yang tirakat (hidup hemat) dan mempersungguh (bekerja giat) (HR. Ahmad)

4.    Toleransi

Dalam hadis Rasulullah saw. ternyata cukup banyak ditemukan hadis-hadis yang memberikan perhatian secara verbal tentang toleransi sebagai karakter ajaran inti Islam.  Hal ini tentu menjadi pendorong yang kuat untuk menelusuri ajaran toleransi dalam Alquran, sebab apa yang disampaikan dalam hadis merupakan manifestasi dari apa yang disampaikan dalam Alquran.
Di dalam salah satu hadis Rasulullah saw., beliau bersabda :
         
حَدَّثَنِا عبد الله حدثنى أبى حدثنى يَزِيدُ قَالَ أنا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ الْحُصَيْنِ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ
[Telah menceritakan kepada kami Abdillah, telah menceritakan kepada saya Abi telah menceritakan kepada saya Yazid berkata; telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ishaq dari Dawud bin Al Hushain dari Ikrimah dari Ibnu 'Abbas, ia berkata; Ditanyakan kepada Rasulullah saw. "Agama manakah yang paling dicintai oleh Allah?" maka beliau bersabda: "Al-Hanifiyyah As-Samhah (yang lurus lagi toleran)]"


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَيَّاشٍ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ قَالَ حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا سَمْحًا إِذَا بَاعَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.

[Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin 'Ayyasy telah menceritakan kepada kami Abu Ghassan Muhammad bin Mutarrif berkata, telah menceritakan kepada saya Muhammad bin al-Munkadir dari Jabir bin 'Abdullah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Allah merahmati orang yang memudahkan ketika menjual dan ketika membeli,  dan ketika memutuskan perkara"].

Imam al-Bukhari memberikan makna pada kata ‘as-samâhah’ dalam hadis ini dengan kata kemudahan, yaitu padaBab Kemudahan dan Toleransi dalam Jual-Beli”. Sementara Ibn Hajar al-‘Asqalâni ketika mengomentari hadis ini beliau berkata: "Hadis ini menunjukkan anjuran untuk toleransi dalam interaksi sosial dan menggunakan akhlak mulia dan budi yang luhur dengan meninggalkan kekikiran terhadap diri sendiri, selain itu juga menganjurkan untuk tidak mempersulit manusia dalam mengambil hak-hak mereka serta menerima maaf dari mereka.
Islam sejak diturunkan berlandaskan pada asas kemudahan, sebagai-mana Rasulullah saw. bersabda :

حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلاَمِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ.
[Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Muthahhar berkata, telah menceritakan kepada kami Umar bin Ali dari Ma'an bin Muhammad Al Ghifari dari Sa'id bin Abu Sa'id Al Maqburi dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, men-dekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolong-lah dengan al-ghadwah (berangkat di awal pagi) dan ar-ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah (berangkat di waktu malam)"].

Ibn Hajar al-‘Asqalâni berkata bahwa makna hadis ini adalah larangan bersikap tasyaddud (keras) dalam agama yaitu ketika seseorang memaksa-kan diri dalam melakukan ibadah sementara ia tidak mampu melaksana-kannya itulah maksud dari kata : "Dan sama sekali tidak seseorang berlaku keras dalam agama kecuali akan terkalahkan" artinya bahwa agama tidak dilaksanakan dalam bentuk pemaksaan maka barang siapa yang memaksakan atau berlaku keras dalam agama, maka agama akan mengalahkannya dan menghentikan tindakannya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. datang kepada ‘Aisyah ra., pada waktu itu terdapat seorang wanita bersama ‘Aisyah ra., wanita tersebut memberitahukan kepada Rasulullah saw. perihal salatnya, kemudian Rasulullah saw. bersabda :

مَهْ، عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَادَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ
["Hentikan, Kerjakan apa yang sanggup kalian kerjakan, dan demi Allah sesungguhnya Allah tidak bosan hingga kalian bosan, dan Agama yang paling dicintai disisi-Nya adalah yang dilaksanakan oleh pemeluknya secara konsisten"].

Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw. tidak memuji amalan-amalan yang dilaksanakan oleh wanita tersebut, dimana wanita itu menberitahukan kepada Rasulullah saw. tentang salat malamnya yang membuatnya tidak tidur pada malam hari hanya bertujuan untuk mengerja-kannya, hal ini ditunjukkan ketika Rasulullah saw. memerintahkan kepada ‘Aisyah ra. untuk menghentikan cerita sang wanita, sebab amalan yang dilaksanakannya itu tidak pantas untuk dipuji secara syariat karena di dalamnya mengandung unsur memaksakan diri dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam, sementara Islam melarang akan hal tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada hadis sebelumnya.
Keterangan ini menunjukkan bahwa di dalam agama sekalipun terkandung nilai-nilai toleransi, kemudahan, keramahan, dan kerahmatan yang sejalan dengan keuniversalannya sehingga menjadi agama yang relevan pada setiap tempat dan zaman bagi setiap kelompok masyarakat dan umat manusia.
Terdapat banyak ayat-ayat Alquran yang menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sarat dengan kemudahan di antaranya adalah firman Allah swt:
 ---هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ---
[Dia telah memilih kamu. Dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan].[
Pada ayat lain Allah berfirman :
 ---يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ---
[Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu].

Kata "al-Mutanatti'un" adalah orang-orang yang berlebihan dan me-lampaui batas dalam menjelaskan dan mengamalkan ajaran-ajaran agama. Al-Qâdi ‘Iyad mengatakan bahwa, maksud dari kehancuran mereka adalah di akhirat. Hadis ini merupakan peringatan untuk menghindari sifat keras dan berlebihan dalam melaksanakan ajaran agama.
Toleransi dalam Islam bukan berarti bersikap sinkretis. Pemahaman yang sinkretis dalam toleransi beragama merupakan dan kesalahan dalam memahami arti tasâmuh yang berarti menghargai, yang dapat mengakibat-kan pencampuran antar yang hak dan yang batil (talbisu al-haq bi al-bâtil), karena sikap sinkretis adalah sikap yang menganggap semua agama sama. Sementara sikap toleransi dalam Islam adalah sikap menghargai dan menghormati keyakinan dan agama lain di luar Islam, bukan menyamakan atau mensederajatkannya dengan keyakinan Islam itu sendiri.

Pada ayat ini terdapat perintah untuk mengajak para ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani untuk menyembah kepada Tuhan yang tunggal dan tidak mempertuhankan manusia tanpa paksaan dan kekerasan sebab dalam dakwah Islam tidak mengenal paksaan untuk beriman sebagaimana Allah swt. berfirman:
لآإِكْرَاهَ فِيْ الدِّيْنِ
[Tidak ada paksaan dalam beragama]
Dalam beberapa riwayat diketahui Rasulullah saw. Juga mendoakan agar Allah swt. memberikan kepada mereka (kaum musyrik) hidayah untuk beriman kepada-Nya dan kepada risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Diantara riwayat-riwayat tersebut adalah kisah qabilah Daus yang menolak dakwah Islam yang disampaikan oleh Tufail bin Amr ad-Dausi, kemudian sampai hal ini kepada Rasulullah saw.,  lalu beliau berdo'a :
 "اللَّهُمَّ اهْدِ دَوْسًا وَأْتِ بِهِمْ"
[Ya Allah, tunjukilah qabilah Daus hidayah dan berikan hal itu kepada mereka].

Berdasarkan riwayat di atas, maka benarlah bahwa Rasulullah saw. diutus menjadi rahmat bagi seluruh alam. Beliau tidak tergesa-gesa mendoakan mereka (orang kafir) dalam kehancuran, selama masih terdapat kemungkinan diantara mereka untuk menerima dakwah Islam, sebab beliau masih mengharapkannya masuk Islam. Adapun kepada mereka yang telah sampai  dakwah selama beberapa tahun lamanya, tetapi tidak terdapat tanda-tanda kenginan untuk menerima dakwah Islam dan dikhawatirkan bahaya yang besar akan datang dari mereka seperti pembesar kaum musyrik Quraisy (Abu Jahal dan Abu Lahab dkk), barulah Rasulullah mendoakan kehancuran atas nama mereka.
Sikap Rasululullah saw yang  mendoakan dan mengharapkan orang-orang musyrik supaya menjadi bagian umat Islam, menguatkan bahwa Rasulullah saw.  diutus membawa misi toleransi, sebagaimana sabda beliau;
 فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَمْ أُبْعَثْ بِالْيَهُودِيَّةِ وَلاَ بِالنَّصْرَانِيَّةِ وَلَكِنِّي بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ 
[Maka Rasulullah saw bersabda, “sesungguhnya aku tidak diutus untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani, akan tetapi aku diutus untuk orang-orang yang lurus terpuji.”]
Ulasan terhadap hadis-hadis yang telah dikemukakan terdahulu, menunjukkan bahwa  toleransi dalam hadis mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama, atau yang lebih populer dengan sebutan inklusivisme, pluralisme dan multikulturalisme. Hal ini sejalan firman Allah swt:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
[Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal].

Seluruh manusia berada dalam lingkaran ‘sunnatullah’ ini. Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah swt menciptakan adanya perbedaan dan penting untuk menghadapi dan menerima perbedaan-perbedaan itu, termasuk dalam konteks teologis. Toleransi antar umat beragama yang berbeda termasuk ke dalam salah satu kajian penting yang ada dalam sistem teologi Islam. Oleh karena Allah swt.  telah mengingatkan  akan keragaman kebenaran teologis dan jalan keselamatan manusia, sebagaimana firman Allah swt. :
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ شُهَدَاء
[Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebab-kan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya].

Dalam ayat lain disebutkan:
وَآتَيْنَاهُ الإِنجِيلَ فِيهِ هُدًى وَنُورٌ وَمُصَدِّقاً لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ التَّوْرَاةِ وَهُدًى  وَمَوْعِظَةً لِّلْمُتَّقِينَ
[Dan Kami telah mendatangkan Injil kepada Isa al-Masih, di dalamnya terdapat  petunjuk dan cahaya dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa].
Kedua ayat tersebut di atas dipahami bahwa dalam kitab tersebut juga terdapat kebenaran, dan bersumber dari Allah Swt yang diwahyukannya melalui orang-orang pilihan-Nya. Bahkan Allah swt. juga memberikan penghargaan yang setara terhadap umat Yahudi dan Nasrani yang melaksanakan hukum-Nya sebagaimana disebutkan dalam Alquran;
إنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَادُواْ وَالصَّابِؤُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وعَمِلَ صَالِحاً فَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ
[Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati].
Ayat ini menegaskan bahwa yang mendapatkan perlindungan dari Allah swt nanti tidak semata-mata penganut agama tertentu saja, melainkan juga termasuk mereka yang beriman dan melakukan amal saleh. Asbab an-nuzul ayat ini menjelaskan, pada suatu hari Salman al-Farisi mendatangi Rasulullah saw. dan menceritakan keadaan penduduk al-Dayr, yang mana mereka melakukan shalat, puasa, beriman dan bersaksi tentang kenabian Muhammad saw.  Lalu Rasulullah saw. berkata kepada Salman, “Mereka adalah penduduk neraka”. Kemudian Allah swt menegur Rasulullah saw. dan menurunkan ayat tersebut, bahwa sesungguhnya orang-orang Muslim, Yahuni, Nasrani, Sabiin dan Majusi, terutama mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir dan melakukan amal saleh, mereka akan mendapatkan surga-Nya. Allah swt yang Mahaagung dan Mahaadil akan bertindak sebagai hakim dala memutuskan amal perbuatan setiap hamba-Nya.
Dengan demikian, Islam dalam konteks QS. Ali Imran/3: 85 (bahwa agama yang diterima disisi Allah hanya Islam), harus dipahami sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammmad saw. sebagai kelanjutan dan penyempurnaan dari agama yang dibawa para nabi sebelumnya, yang bermula pada Nabi Ibrahim as. sampai kepada Nabi Musa as. dan Isa as.

Sikap penerimaan dan pengakuan terhadap yang lain, sebagai ajaran toleransi yang ditawarkan Islam, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis maupun ayat Alquran cukup rasional dan praktis. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, tidak bisa disamakan dan dicampuradukkan, yang berarti bahwa keyakinan Islam kepada Allah swt  tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-tuhan mereka, dan juga tatacara ibadahnya. Walaupun demikian, Islam tetap melarang penganutnya mencela tuhan-tuhan dalam agama manapun. Oleh karena itu, kata tasâmuh atau toleransi dalam Islam bukan sesuatu yang asing, tetapi sudah melekat sebagai ajaran inti Islam untuk diimplementasiklan  dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir. Dalam konteks inilah hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tentang  أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ [agama yang paling dicintai oleh Allah, adalah al-hanifiyyah as-samhah (yang lurus yang penuh toleransi), itulah agama Islam.
Toleransi antar umat beragama dapat dimaknai sebagai suatu sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun tidak beribadah dari satu pihak ke pihak lain. Sebagai implementasinya dalam praktek kehidupan sosial dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antara penganut keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.
Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman dengan kita atau tidak. Sikap toleransi itu direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling memulia-kan dan saling tolong-menolong. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. saat beliau dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi Muhammad saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata: “Bukankah mereka orang Yahudi, ya Rasul?” Nabi saw.. menjawab “Ya, tapi mereka manusia juga”. Hadis ini hendak  menjelaskan bahwa, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan urusan Allah swt. dan tidak ada kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan urusan mu’amalah antar sesama tetap dipelihara dengan baik dan harmonis.
Saat Umar bin Khattab ra. memegang amanah sebagai khalifah, ada sebuah kisah dari banyak teladan beliau tentang toleransi, yaitu saat Islam berhasil membebaskan Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari 638 M. Tidak ada kekerasan yang terjadi dalam ‘penaklukan’ ini.  Singkat cerita, penguasa Jerusalem saat itu,  Patriarch Sophorinus, “menyerahkan kunci” kota dengan begitu saja. Suatu ketika, khalifah Umar dan Patriarch Sophorinus menginspeksi gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba waktu shalat, beliau ditawari Sophronius shalat di dalam gereja itu. Umar menolak seraya berkata, “Jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka hanya karena saya pernah shalat di situ.” Beliau kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu  jatuh itulah beliau kemudian shalat. Umar kemudian menjamin bahwa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak sampai kapan pun dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Nasrani.

B. Tantangan Penerapan Akhlak Islam dalam Kehidupan

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern, tantangan akhlak juga semakin banyak, tak sedikit manusia menjadi lupa diri dan berada diluar garis batas ajaran agama. Sehingga kita butuh aqidah yang kokoh dan akhlak yang terpuji untuk mengahadapi tantangan tersebut. Seperti kita tahu tantangan yang sering kita hadapi namun jarang kita sadari yaitu Kemajuan teknologi yang semakin mutakhir, gaya hidup, dan orientasi  hidup yang materialistis.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dialami  oleh manusia sekarang ini tidak sedikit dampak negatifnya terhadap sikap hidup dan perilakunya, baik sebagai manusia beragama maupun sebagai makhluk individual dan sosial. Dampak negatif yang paling berbahaya terhadap kehidupan manusia atas kemajuan itu ditandai dengan adanya kecenderungan menganggap bahwa satu-satunya yang dapat membahagiakan hidup adalah material. Sehingga manusia terlampau mengejar materi, tanpa menghiraukan nilai-nilai spiritual yang sebenarnya berfungsi  untuk memelihara dan mengendalikan akhlak manusia.
Nilai-nilai spiritual yang dimaksudkan dalam Islam adalah ajaran agama yang berwujud perintah, larangan dan anjuran, yang semuanya berfungsi untuk membina kepribadian manusia dalam kaitannya sebagai Hamba Allah dan anggota masyarakat.
Gaya hidup-pun menjadi tantangan agar lebih dapat mengontrol diri.  Gaya hidup yang dimaksud disini adalah gaya hidup hedonis atau foya-foya, dan kebarat-baratan.  Seperti kita tahu selain tidak baik, Allah sangat membenci segala sesuatu yang berlebihan. Gaya hidup ini cenderung hanya mementingkan kesenangan semata, menghambur-hamburkan materi dalam jumlah banyak secara sia-sia karena sebenarnya tidak ada keuntungan yang bisa didapat dari itu melainkan hanya kesenangan sesaat. Padahal kalau kita memiliki aqidah yang kokoh dan akhlak yang terpuji, tidak seharusnya kita berlaku seperti itu melainkan lebih memilih untuk berbagi terhadap sesama karena akan lebih terasa manfaatnya.
Orientasi hidup yang hanya mengejar nilai-nilai material saja tidak bisa dijadikan sarana untuk mencapai kebahagiaan, bahkan hal ini juga dapat menimbulkan bencana yang hebat ketika hidup hanya berorientasi pada sesuatu yang merial (metrialistis)  sehingga ada persaingan hidup yang tidak sehat. Sementara manusia tidak memerlukan agama lagi untuk mengendalikan semua perbuatannya, karena mereka menganggap agama tidak lagi dapat memecahkan persoalan hidup.
Disinilah kita akan tahu betapa pentingnya peranan aqidah dan akhlak dalam kehidupan modern seperti sekarang. Aqidah dan akhlak akan menjadi benteng yang sangat kuat dalam menghadapi segala dampak negatif kehidupan modern. Aqidah dapat menyelamatkan diri kita dari segala bentuk dosa kecil yang jarang kita sadari, aqidah juga dapat membuat kita selalu berbuat baik terhadap pencipta dan sesama. Disamping aqidah yang kuat, akhlak yang terpuji akan menyelamatkan manusia dari segala macam perbuatan dan tindakan yang bisa menjerumuskan manusia dalam kesesatan.
Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang hidup didunia harus memiliki aqidah dan akhlak sehingga kita tidak tersesat dan apa-apa yang kita lakukan tidak melanggar ajaran agama yang telah ditentukan.

C. Upaya Peningkatan Kualitas Akhlak Islam
a. Penjagaan Diri
Alasan harus menjaga diri
1.            Upaya penjagaan seorang muslim terhadap dirinya tidak lain adalah upaya melindunginya dari siksa Allah ta’ala dan neraka-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim : 6)
2.            Jika ia tidak menjaga diri sendiri, ia kehilangan waktu-waktu ketaatan dan moment-moment kebaikan.
3.            Hisab kelak bersifat individual
“Dan setiap mereka datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri” (QS. Maryam : 95)
4.            Penjagaan diri lebih mampu mengadakan perubahan
Seseorang lebih tau akan dirinya sendiri, maka upaya penjagaan diri merupakan hal yang bagus dan sekaligus menimbulkan perubahan pada diri seseorang tersebut.

Cara-cara penjagaan diri

1.            Musahabah diri
Melakukan muhasabah (evaluasi) terhadap dirinya atas kebaikan dan keburukan yang telah ia kerjakan, meneliti kebaikan dan keburukan yang ia miliki, agar ia tidak terperanjat kaget dengan sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya pada hari kiamat.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS. Al-Hasyr : 18)
2.            Taubat dari segala dosa
3.            Mencari ilmu dan memperluas wawasan
Seseorang dapat menjaga dirinya dengan mencari ilmu agama. Dengan ilmu agama ia akan tahu perbuatan apa saja yang seharusnya ia lakukan dan yang seharusnya tidak ia lakukan sebagai seorang muslim.
4.            Mengerjakan amalan-amalan iman
Antara lain :
     a.    Mengerjakan ibadah-ibadah wajib seoptimal mungkin
     b.    Meningkatkan porsi ibadah-ibadah sunnah
     c.     Peduli dengan ibadah dzikir seperti membaca al-qu’ran dan berdzikir
Dengan mengerjakan amalan-amalan iman insya Allah seseorang dapat mengingat Allah dalam hari-harinya sehingga ia akan menjaga perbuatannya.
5.            Bergaul dengan orang-orang shaleh
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap pribadi seseorang. Maka untuk menjaga akhlak, kita harus bergaul dengan orang-orang shaleh. Tidak hanya kita yang terjaga tetapi kita juga dapat saling mengingatkan satu sama lainnnya.
6.            Berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh
Dengan berdoa secara sungguh-sungguh kepada Allah, insya Allah kita dapat terhindar dari perbuatan yang tidak bermanfaat.
b.Penjagaan Sesama Muslim
Dalam meningkatkan kualitas akhlak kita bisa melakukan penjagaan sesama muslim, karena dengan menjaga sesama muslim, kita dapat meningkatkan kesadaran akan akhlak di lingkungan kita. Salah satu cara dari penjagaan muslim adalah dengan cara dakwah.
Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada  Allah sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan.
Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata "Ilmu" dan kata "Islam", sehingga menjadi "Ilmu dakwah" dan Ilmu Islam" atau ad-dakwah al-Islamiyah.
Makna etimologis Dakwah dapat dilihat dari kata dakwah dalam Al-Quran yang memiliki banyak arti, antra lain :
·                      Menyampaikan dan menjelaskan (lihat QS Fushilat:24, Yusuf : 108 dll)
·                      Berdo’a dan berharap (lihat QS Al-A’raf : 55)
·                      Mengajak dan mengundang (lihat QS Yusuf : 33)
Ilmu dakwah adalah suatu ilmu yang berisi cara-cara dan tuntunan untuk menarik perhatian orang lain supaya menganut, mengikuti, menyetujui atau melaksanakan suatu ideologi, agama, pendapat atau pekerjaan tertentu. Orang yang menyampaikan dakwah disebut "Da'i" sedangkan yang menjadi obyek dakwah disebut "Mad'u". Setiap Muslim yang menjalankan fungsi dakwah Islam adalah "Da'i".".
D.   Integrasi Akidah, Syariah dan Akhlak Islam
Ajaran Islam merupakan ajaran yang sempurna, lengkap dan universal yang terangkum dalam 3 hal pokok; Akidah, Syari’at dan Akhlak. Artinya seluruh ajaran Islam bermuara pada tiga hal ini.
Akidah adalah hal-hal asasi dan mendasar dalam Islam yang berkenaan dengan keyakinan yang terletak di hati, namun ia tidak seperti yan dipahami oleh non muslim di Barat. Di Barat, akidah atau keimanan hanyalah hal-hal yan berhubungan dengan pembenaran (tashdiq) dan yang dirasakan (syu’ur), artinya hati memainkan peran besar di sana. Berbeda dengan akidah yang dipahami di dalam Islam, karena akidah dalam Islam, di samping berkaitan dengan pembenaran hati, ia juga harus di iringi dengan dalil atau sesuatu yang dapat membuktikan apa yang dibenarkan oleh hati itu dan di saat yang sama ia juga harus sesuai dengan realita. Berarti disini bukan peran hati saja yang bermain, tapi juga ada peran otak. Dengan adanya peran dua hal ini (hati dan otak) akan terciptalah keseimbangan, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam firman-Nya:
Dan demikianlah Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat pertengahan (adil/seimbang)…”(Al-Baqarah:143)
Syari’at merupakan ajaran Islam yang berhubungan dengan perbuatan dan tindak-tanduk manusia. Secara garis besar syari’at menghimpun urusan-urusan ritual ibadah dan semua pola hubungan manusia baik itu dengan dirinya sendiri, sesama maupun lingkungannya.
Sedang Akhlak adalah sifat manusia (baik ataupun buruk) yang akan muncul pengaruhnya dalam kehidupannya. Dalam prakteknya akhlak bisa dikatakan buah atau hasil dari akidah yang kuat dan syari’at yang benar, dan itulah tujuan akhir dari ajaran Islam ini, sebagaimana sabda Rasul SAW: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Karena sumber agama adalah Allah SWT, maka untuk menjelaskan itu semua diutuslah para nabi dan rasul. Semua rasul tersebut diajarkan melalui wahyu-Nya tentang aqidah yang bernar, yang tidak pernah berubah sepanjang sejarah meskipun berganti rasul dan nabi yang diutus-Nya. Hal inilah yang dimaksudkan Allah SWT dalam firmannya QS: Asy-Syura ayat 13,
“Dia Telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya…”
Artinya, secara akidah risalah para rasul dan nabi tidak ada perbedaan, apa yang diturunkan kepada Nabi Nuh a.s, Ibrahim a.s, Musa a.s, Isa a.s dan nabi-nabi lainnya tidak berbeda dengan apa yang diturunkan pada Nabi Muhammad SAW dari sisi akidah, yaitu keyakinan dan iman kepada Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan Pencipta dan Pengatur segala. Inilah dia dasar agama samawi yang sesungguhnya dan dengan inilah umat manusia sejak zaman Nabi Adam a.s sampai akhir zaman mesti bersatu…
“Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya..!”
Sedangkan yang berhubungan dengan syari’at, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan amal, perbuatan dan perilaku manusia, disinilah letak sebagian besar  perbedaan antara agama-agama samawi, karena setiap umat dan rasul memiliki syari’at dan kondisi yang berbeda-beda sebagaimana firman Allah:
“untuk tiap-tiap umat Kami berikan aturan (syari’at) dan jalan yang terang (minhaj). sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu.” (QS Al-Maidah: 48)
Demikianlah Allah menjadikan syari’at tiap umat berbeda, sesuai dengan kondisi dan tabiat masing-masing. Syari’at yang berbeda-beda itu terus berkembang dan berubah sampai menemui titik puncak kesempurnaannya pada syari’at Islam, yang selamanya bisa berlaku dan sesuai dengan perkembangan dan perbedaan tabiat manusia sampai akhir zaman, karena syari’at Islam adalah syari’at yang mudah dipelajari dan menjadikan kemaslahatan umat manusia sebagai salah satu asasnya.
Dengan demikian syari’at dapat menerima pergantian, perubahan dan penghapusan, seperti syari’at Nabi Musa a.s yang dihapus dan diganti dengan datangnya syari’at Nabi Isa a.s, namun lain halnya dengan akidah, ia sebaliknya tidak bisa berganti dan berubah karena ia adalah sesuatu yang asasi dan titik temu antar generasi umat manusia.
Sedang masalah moralitas dan akhlak (etika) juga sebagai sisi penting yang memberikan keseimbangan bagi seorang muslim sejati.
Sebagai buah dari syari’at dan akidah yang baik,  menjadikan akhlak dalam Islam menyentuh semua lini, mulai dari lini hubungan manusia dengan dirinya, dengan sesama manusia, dengan lingkungan bahkan hubungan manusia dengan Tuhannya. Semuanya mestilah mendapatkan percikan nilai-nilai akhlak dan moralitas.
Dan bisa dikatakan juga akidah seseorang tidak sempurna jika tidak dibarengi dengan akhlak, seperti akhlak kepada Allah, Rasul-Nya dan sebagainya dalam hal akidah, bagaimana mungkin seseorang bisa dikatakan berislam dengan baik jika ia menghina Tuhannya sendiri, mengejek dan menyematkan icon-icon yang menjatuhkan kemuliaan Rasulnya?.
Demikian juga syari’at, mesti juga diiringi dengan akhlak dan moral, tidak perlu mengambil contoh jauh, shalat saja terang-terangan salah satu tujuannya adalah untuk menghindarkan manusia dari sifat keji dan mungkar yang sekaligus menjelaskan sisi moralitas dari ibadah dalam Islam,
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar”. (QS. Al-Ankabut: 45).
Aqidah, Syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran Islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Aqidah sebagai sistem kepercayaan yang bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan, menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai sistem nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yang hendak dicapai agama.
E.  Peran Akidah, Syariah dan Akhlak dalam Pembentukan Manusia Taqwa

1.    Takwa merupakan manifestasi kepahaman seorang Muslim akan kebaikan dan keburukan serta perintah dan larangan Allah SWT

2.    Ketakwaan adalah cermin sinergi dari Aqidah, Syariah dan Akhlak, seperti yang tersirat dalam Q.S Al-Baqarah 2: 2-3, 177.

3.    Muttaqiin
adalah mereka yang berhasil menyatukan seluruh pokok ajaran agama danmenyeimbangkan akal dan nafsu serta menunjukkan totalitas identitas sebagai Mukmin

4.    Tantangan zaman sukses dihadapi dengan keteguhan dalam keimanan, kesungguhan dalam kepatuhan ibadah, dan pengamalan nilai agama dengan bulat hati dan ikhlas.


Daftar Pustaka:

Al qur’an

Chaniago, H. Muhammad Alfis. (2009). Indeks dan Syarah: 1646 Hadist Pilihan dari 6 Kitab Hadist Shaheh. Bekasi: Cv. Alonso Pratama

Kaelany. (2014). Islam Agama Universal. Jakarta: Midada Rahma Press.

Kaelany. (2014). Akhlak Mulia. Jakarta: Midada Rahma Press

Nata, Abuddin.(2011). Studi Islam Komprehensif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group





http://qalammag.wordpress.com/2010/05/11/kedisiplinan-islam (Di unduh tanggal 16 Maret Pukul 17:34)